Pukul 18.05 WIB. Aku masih termenung di hadapan komputer, tak tahu harus melakukan apa, padahal hasil pekerjaan ini akan dipergunakan di dalam meeting pukul delapan pagi besok. Aku berusaha mengkonsentrasikan pikiranku. Namun sulit. Kejadian itu menyakitiku lagi, membuat hatiku bergejolak dan emosiku naik. Padahal sudah tujuh tahun berlalu. Tapi, aku belum bisa menyembuhkan luka itu.
Cinta pertamaku adalah sahabatku di kelas I SMU. Ia mengerti aku dan aku pun memahaminya. Akhirnya pengertian di antara kami menyatukan kami menjadi sepasang kekasih. Kami saling mensupport di dalam studi dan sejalannya dengan waktu, kami makin menyadari bahwa kami saling membutuhkan.
Kekasihku berasal dari keluarga yang bahagia. Kebahagiaan itu menyatu bersama kekayaan, kerukunan, kesalehan, dan kesuksesan. Ayahnya, pengusaha furniture ternama di Kota Bandung. Ibunya sangat modis, menandakan seorang wanita high-class. Kedua kakak perempuannya, Lena dan Sita, keduanya telah menikah. Masing-masing dengan anak teman ayahnya. Dalam kehidupan rohani, keluarga kekasihku aktif pada setiap ibadat dan tekun berdoa.
Berbeda dengan aku. Tak ada yang bisa kuceritakan tentang keluargaku, kecuali penderitaan. Aku tumbuh dewasa bersama Nenek, ibu ayahku. Ayahku jarang kulihat. Sementara ibuku hanya tinggal dalam masa kecilku. Nenek membuka kios kecil di pinggir jalan demi memenuhi semua kebutuhan hidupku.
Untung saja, di tengah situasi ketidakberuntunganku itu, Tuhan masih memberikanku dua kemujuran. Pertama, aku bisa memberi Nenek kebanggaan dengan menjadi Pelajar Teladan Tingkat SMU se-Jawa Barat. Dengan “gelar” itu, aku bisa memperoleh beasiswa “bebas uang pangkal dan sumbangan pembangunan” untuk melanjutkan studiku di universitas yang kini menjadi almamaterku. Jadi pada setiap semesternya, aku cukup membayar uang kuliah saja. Kedua, tentu saja kekasihku. Ia menerimaku dengan segala kekuranganku dan berjanji tak akan pernah meninggalkanku selama hidupnya.
Di saat aku belum bisa merawat Nenekku sebagai balas budiku, Nenekku harus menghadap Tuhan. Kekasihku mendampingiku dan memberiku kekuatan untuk menerima kenyataan hidupku.
Kemudian, kekasihku ingin menolongku dengan memberikan sejumlah uang sebagai pengganti uang kuliah semester padaku, tapi aku menolak. Aku tak mau menambah bebannya. Aku sudah bahagia dengan kehadirannya dalam kehidupanku. Aku memilih menjadi guru les anak SD dan mengatur waktu sebaik mungkin untuk tetap berkuliah.
Hingga hari itu tiba, saat aku berkunjung ke rumahnya. Seperti biasa ketika waktu makan malam tiba, salah seorang pembantu di keluarganya mempersilakanku ke ruang makan keluarga.
Di ruang makan, aku duduk di tempatku seperti biasa, bersebelahan dengan kekasihku. Hanya entah mengapa, hari itu perasaanku tidak enak.
Di hadapanku, duduk ayah dan ibunya, Kak Lena dan suaminya, serta Kak Sita. Di hadapan kami tersaji hidangan ala Eropa.
Aku bersyukur dalam hati. Terima kasih Tuhan, karena keluarganya sangat baik padaku, menerima aku. Terima kasih juga karena aku akan menikmati makanan yang sedap ini. Di luar “istana” ini, biasanya aku hanya makan seadanya saja.
“Thea,” panggil Ibu kekasihku sambil menyodorkan selembar kertas bertuliskan huruf-huruf aneh padaku. Aku hanya bisa membaca deretan angka yang menyusun tanggal lahirku, tanggal lahir kekasihku, lengkap dengan waktu kami lahir.
“Apa ini, Tante?” tanyaku bingung.
“Itu ramalan,” sahut Kak Lena.
Aku tak tahu mengapa Kak Lena yang menjawab, padahal aku tidak bertanya padanya.
“Untuk ini, maka minggu lalu Tante bertanya padamu tentang kapan waktu lahirmu. Menurut ramalan itu, jika hubungan kau dan anak kami diteruskan, apalagi kalian sampai menikah, maka malapetaka besar akan terjadi dalam keluarga kami. Kami bisa kehilangan dia, padahal kau tahu bahwa dia anak laki-laki kami satu-satunya.”
Sekujur tubuhku terasa kaku. Kupalingkan wajahku ke arah kekasihku. Ia menunduk, tak meresponku.
“Malapetaka itu bisa terjadi dalam tiga tahun ke depan,” sambung Kak Lena, “Jika kalian belum menikah, kau akan terus mengganggunya dengan seribu macam masalahmu. Dan jika kalian sudah menikah, maka kau akan membuatnya meninggal dunia.”
Lalu tubuhku lemas. Untung aku duduk. Dapat dipastikan aku akan roboh jika mendengar hal ini sambil berdiri. Mulutku terkatup, tapi hatiku membantah. Ini kan ramalan. Siapa yang tahu akan datang masalah, akan hadir malapetaka. Semua orang boleh bernubuat. Tapi hanya Tuhan yang menentukan. Bahkan dunia ini berakhir dan ditentukan kiamatnya juga oleh Tuhan. Iya kan, hanya Tuhan yang menentukan jagad alam ini dan apa yang terjadi di atasnya.
“Tante juga tetap percaya sama Tuhan. Tapi ramalan ini tidak mungkin salah. Setiap orang lahir pada jam-jam tertentu yang bisa dijadikan petunjuk kehidupannya di kemudian hari.”
Dengan mendengar pernyataan itu, pedih kurasakan di hati. Ingin rasanya berteriak saja, tapi satu patah katapun terucap dari bibirku. Bukankah mereka keluarga yang saleh, yang selalu menggantungkan iman, harapan, kepercayaan, dan nasib hanya kepada Tuhan. Tapi, mengapa dalam hal ini mereka lebih percaya dengan ramalan manusia.
“Kemudian, kami merasa kalian tidak cocok. Kalian terlalu berbeda,” sambung Kak Lena, “Persamaan membuat dua orang lebih mudah bersatu. Tetapi perbedaan tak mungkin memberikan kemudahan itu.”
Mengertilah aku. Aku tidak terlalu bodoh untuk memahami kata-kata Kak Lena. Mungkin inilah inti dari semua “omongan sampah” ini. Mungkin benar mereka meramal kami, tetapi mereka meramal untuk menemukan hal yang lebih dahsyat daripada sekedar “perbedaan” itu. Dalam setiap pertemuan doa, mereka selalu berkata bahwa di mata Tuhan setiap orang di dunia ini sama. Karenanya, mereka memperlakukan setiap orang sama. Tapi hari ini, aku harus mengerti bahwa kata-kata adalah klise semata.
“Tapi, semuanya tetap tergantung kalian. Tante hanya memberitahu apa yang akan terjadi jika kalian tetap bersikeras untuk bersama. Tante ingin kalian dapat yang terbaik. Tidak ada seorang ibu yang menginginkan anaknya mendapat hal yang buruk dalam hidupnya.”
Semampuku menahan perasaanku, menguatkan hatiku. Namun aku gagal. Air yang kutahan di kantung mataku sudah tak bisa terbendung lagi.
“Ya, kalian bisa memikirkan lagi hubungan kalian,” kata ayah kekasihku kemudian, “Oom tetap menganggap kamu anak Oom, Thea. Biarpun kau tidak menjadi menantu Oom.”
Aku menyusut air mataku dengan lengan bajuku. Pernyataan apa lagi ini, desahku. Kupalingkan lagi wajahku ke arah kekasihku. Ia tetap menunduk, tak menghiraukan pandanganku sama sekali. Rasanya ingin tenggelam saja atau bumi menelanku saat itu juga.
“Ayo kita makan,” ajak Kak Lena.
Dari mataku yang berkaca-kaca, aku harus menyaksikan “kekejaman” itu. Bagaimana mungkin mereka sanggup bertindak seperti tidak ada apa-apa. Bagaimana mungkin mereka bisa menikmati dan menyuapkan makanan ke dalam mulut mereka. Hanya Kak Sita saja yang tertegun.
Sekali lagi kupalingkan wajahku ke arah kekasihku. Ia tetap tertunduk. Lalu kulihat beberapa butir air jatuh ke atas celananya.
Tangisku tak bisa reda dan mulutku tetap membisu, tetapi kakiku mengajakku melangkah, bahkan berlari, berlari sekuat tenagaku, meninggalkan meja makan itu, meninggalkan “istana” itu.
Di halaman rumah mewah itu, Kak Sita menghentikan lariku. Ia memelukku erat, meminta maaf untuk keluarganya. Tak lama mobil Kak Sita sudah stand by di hadapanku. Sopir Kak Sita membukakan pintu belakang. Kak Sita kemudian mengajakku masuk ke dalam mobilnya.
Untuk beberapa menit, keheningan menyelimuti kami. Aku dan Kak Sita sama-sama terdiam. Di benakku tetap terbayang “peristiwa meja makan” yang baru saja terjadi atasku.
“Secara pribadi, aku sungguh tak suka dengan apa yang dilakukan keluargaku padamu. Mungkin kau menganggapku ada di pihak mereka. Jika demikian anggapanmu, kau keliru.”
Mendengar Kak Sita berbicara demikian, mataku mulai panas.
“Hari ini kau melihat keluargaku membuka topengnya. Sejak kecil, aku tak pernah sepaham dengan Mama dan Papaku, atau Lena. Sayang di keluargaku juga, aku tak punya jabatan sepenting Lena. Jadi, aku tak bisa banyak menolongmu. Aku ingin menjadi apa saja yang aku suka, tapi itu hanya mimpi. Karena hidupku milik orang tuaku. Terutama untuk menentukan pasangan hidup. Aku tak berdaya ketika hubunganku dengan kekasihku harus berakhir tragis di tangan mereka.”
Sejenak, aku melihat sinar mata Kak Sita padam. Lalu Kak Sita mendekapku, “Kau harus tabah, Thea. Mungkin kisah cintaku yang tragis itu, segera kau alami juga.”
***
“Kak,” seorang juniorku di kantor membuyarkan lamunanku. Aku segera mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku.
“Kakak kenapa?”
“Tidak, aku sedang sedih saja.” Aku masih mengusap-usap pipi dan mataku. Suaraku masih serak.
“Kak, masih ada pekerjaan untukku?”
Aku melihat jam tanganku. Pukul 19.35 WIB. Berarti sudah satu jam setengah aku membuang waktu, hanya untuk mengingat masa laluku dan bersedih. Bodoh, makiku. Padahal aku punya pekerjaan yang deadline-nya bahkan besok pagi.
“Nina, tolong ringkaskan ini,” kataku sambil menyodorkan sebuah map. “Besok aku akan datang pukul tujuh pagi. Tolong kau beritahu office boy untuk membuka pintu kantor lebih awal.”
“Besok Kakak ada meeting?”
“Ya,” jawabku sambil memasukkan beberapa akta ke dalam tas kerjaku. “Oleh sebab itu, aku perlu sejarah perusahaan itu. Tolong kau baca dan buatkan ringkasannya untukku. Kerjakan dengan baik, ya! Nanti uang lemburku hari ini untukmu.”
Aku berjalan keluar dari kantorku. Kemudian aku membuka pintu mobil dan membawanya ke Teen Café. Di café itu, aku membebaskan pikiranku. Tak terasa, aku menghabiskan tiga gelas strawberry juice.
***
“Thea, cepat!”
“Iya, Pak!” Kusambar peralatan tulisku, kertas kosong, tape perekam suara, dan pekerjaan Nina. Kemudian aku bergegas cepat, berjalan di belakang Bosku menuju ruang meeting.
Bos menyalami klien kami. Aku kaget hingga salah tingkah. Ternyata klien kami kali ini adalah…
“Thea, mengapa bengong?” Seketika itu juga aku terkesiap dan cepat-cepat mengatur nafasku.
“Ya, Pak!”
“Pak Rio,” Bos memperkenalkanku, “Ini Theodora, Senior Associate kantor hukum kami dan salah satu asisten saya.”
Ragu-ragu aku mengulurkan tanganku dan ia yang bernama Rio menyambut uluran tanganku sambil berkata, “Senang bertemu denganmu lagi.”
Cepat-cepat kutarik tanganku. Jantungku berdegup sangat cepat. Telapak tanganku terasa dingin. Pipiku terasa panas.
“Kalian pasti sudah saling mengenal,” kata Bos sambil tertawa. Rio tersenyum. Sementara aku tampak kikuk, terkesan sangat berlebihan. Entah berapa kali wajahku berganti warna.
“Theodora atau Thea inilah yang akan mewakili saya untuk mengurus semua keperluan hukum di perusahaan Anda, seperti misalnya untuk ganti nama perusahaan, jual-beli saham, penggantian dewan direksi dan komisaris,” sambung Bos kemudian.
Matilah aku. Tamatlah aku, batinku. Sepanjang meeting berlangsung, pikiranku terus melayang sambil mencari alasan supaya jangan aku yang mewakili Bos untuk perusahaan Rio. Aku juga sangat menyesal, mengapa aku tidak membaca sendiri riwayat perusahaan Rio. Aku malah menyerahkan pekerjaan itu pada Nina. Lebih salah lagi, hari ini aku baru tiba di kantor pukul 07.55 WIB. Maka dengan pasti aku tidak membaca hasil pekerjaan Nina dan tidak tahu bahwa klien Bos adalah Rio.
“Thea.” Bosku memanggil. Aku melihat semua peserta meeting sudah berdiri. Hah, meeting sudah selesai! Apa yang mereka meeting-kan? Bagaimana ini? Aku pun segera berdiri dari kursiku, menjabat tangan Rio dan tujuh orang lainnya. Entah siapa mereka. Cepat-cepat kulihat tape perekam suaraku. Aku menarik nafas lega. Untung sudah kupasang!
***
“Tidak kusangka, Jakarta ternyata sempit sekali. Hingga akhirnya kita bertemu lagi.”
Ya, sempit sekali. Sampai-sampai aku harus menemui kembali kau yang menyebalkan. Aku tak menyangka, sekarang aku harus mewakili Bos untuk menjadi pengacara perusahaannya. Aku sudah memohon pada Bos, untuk menunjuk Associate lainnya. Tapi Bosku malah mempersilakanku mengundurkan diri, jika aku mengaturnya. Jadi terpaksa, aku melaksanakan perintah Bosku.
“Ya, aku rasa juga demikian,” sahutku.
“Rasanya banyak yang berubah darimu.”
“Mungkin,” sahutku enggan. Tapi tak ada yang berubah darimu Rio. Kau tetap saja seperti ini dari dahulu. Misterius. Datang dan pergi tanpa terduga.
Rio adalah kakak kelasku. Ketika aku masih duduk di kelas I SMU, Rio sudah duduk di kelas III SMU. Perkenalanku dengannya hanya lewat ”meminjam buku catatan”. Seperti biasa, siswa III SMU akan dihadapkan dengan EBTA/EBTANAS. Sebelum EBTA/EBTANAS sesungguhnya diselenggarakan, sekolah mengadakan pra-EBTA/EBTANAS.
Di sekolah, kepandaianku cukup terkenal. Karena itu di saat latihan EBTA/EBTANAS, para kakak kelasku sering meminjam dan memfotokopi buku catatanku, bahkan Rio pernah menghilangkan dua buku catatanku. Karena kesalahannya itu, Rio meminta maaf setiap hari padaku, membelikanku makanan sebagai “penebus dosa”-nya, dan menghadiahiku buku banyak sekali. Mulai dari buku yang bisa menambah ilmu, hingga buku yang bisa menghancurkan moral.
Setelah aku menjadi kekasih sahabatku, Rio menghilang dari kehidupanku. Tak ada lagi makanan “penebus dosa” atau buku-buku baru darinya.
Beberapa hari setelah ”peristiwa meja makan”, baru aku bertemu lagi dengan Rio, berpapasan di tangga samping Tata Usaha kampus. Ia hanya bertanya apa kabar padaku, kemudian pamit pulang. Waktu itu, aku hendak menemui Kepala Tata Usaha, Pak Kandar, untuk mengajukan permohonan penundaan pembayaran uang kuliah semester lima.
Ketika aku mengutarakan permohonanku kepada Pak Kandar, ia malah bingung. Ia mengatakan padaku bahwa baru saja ada seorang laki-laki membayar uang kuliahku. Laki-laki itu tidak menyebutkan namanya. Tapi, ciri-ciri yang disebutkannya sangat meyakinkanku bahwa laki-laki itu adalah Rio.
Aku sangat tersinggung dengan perbuatan Rio. Segera kuminta uang Rio dan kuserahkan kartu mahasiswaku pada Pak Kandar. Aku berlari sekuat tenagaku dan mengejar Rio. Memakinya dan melemparkan uang itu ke mukanya. Sejak hari itu aku tak pernah bertemu Rio lagi. Entah ke mana lagi Rio menghilang. Hingga pada akhirnya, di meeting itulah, aku bertemu lagi dengan Rio.
“Nampaknya AC di Mc D tidak sedingin hawa tubuhmu.”
“Maksudmu?”
“Tidak ada maksud apa-apa.”
Aku menyodorkan dokumen yang telah direvisi berdasarkan meeting.
“Silakan tanda-tangan di sini,” kataku sambil menunjukkan pada Rio di kolom mana saja ia perlu membubuhkan tanda-tangannya.
“Tolong Thea, jangan merusak makan siangku. Lagipula, aku harus baca dulu. Bagaimana kalau ini merugikanku?”
“Bukankah isi dokumen ini sesuai dengan apa yang di-meeting-kan?”
“Mana kutahu. Kau kan melamun. Jadi harus kubaca dulu.”
“Rio, dokumen ini harus aku fax siang hari ini juga.”
“Itu bukan urusanku, yang penting aku mau baca dulu.”
“Bukan urusanmu?” Aku menaikkan nada suaraku. “Ini kan perusahaanmu.”
Rio malah sengaja mencungkil-cungkil daging ayam dan menenggelamkan jarinya ke dalam saus. Aku sudah memasang wajah kesal.
“Tolong, jangan persulit aku,” pintaku kemudian. Baru kali ini, aku merendahkan diriku dengan memohon pada klien hanya untuk memberi tanda-tangannya.
“Aku sudah menyewa kantor hukum-mu untuk menyelesaikan semua urusan hukum perusahaanku. Banyak orang bilang, kantor hukum-mu hebat, tapi...”
“Kalau kau tidak mau tanda-tangan, ya sudah!” Aku menggeser kursiku dan bersiap pergi. Pengalaman selama lima tahun bekerja pada Bosku, salah seorang pengacara beken di Jakarta, ternyata belum cukup mendidikku menjadi seorang yang profesional. Tapi, bagaimana bisa aku profesional. Hari ini sangat menyebalkan. Aku memaki. Jam delapan pagi hari ini, Bos menyuruhku meminta tanda-tangan Rio, pemilik perusahaan yang menjadi klien kami, aku lakukan. Aku pergi ke kantor Rio, tapi tak tahunya ia sedang makan siang di pukul sepuluh pagi. Aku duduk manis di ruang tunggu, tapi kemudian sekretarisnya memintaku menemuinya ke Mc D ini. Aku pun segera berangkat. Setibanya di sini, ia malah mempersulitku.
“Silakan pulang! Aku cukup menelepon rekan bisnisku dan mengatakan bahwa kantor hukum-mu payah dan sangat tidak on time. Mungkin kau bisa menerima uang pesangon yang cukup besar dari Bosmu besok.”
Benar juga. Aku punya kekuasaan apa untuk menandingi Rio. Mungkin Bosku lebih memilih Rio daripadaku. Lalu Associate Bos juga banyak. Jadi, yang pintar bukan aku saja. Mana meniti karier seperti ini juga tidak mudah.
Akhirnya dengan nada suara yang halus aku berkata, “Aku mohon, jangan persulit aku. Dokumen ini tidak akan selesai kalau kau baca satu jam. Sementara satu jam lagi, dokumen ini harus sudah diterima oleh rekan bisnismu.”
Rio melirikku sambil berkata, “Hmm… kupikir-pikir, kau kasihan juga. Baiklah, tapi dengan satu syarat.”
Apapun itu. Terserah. Aku sudah habis kesabaran.
“Malam minggu kau harus dinner denganku.”
“Tapi malam minggu aku harus lembur sampai jam sembilan malam.” Secepat kilat aku merespon permintaannya.
“Bukannya kantor hukum tutup setiap hari Sabtu?” tanya Rio tak percaya.
“Kantor hukum Bosku terlalu banyak klien, jadi hari Sabtu juga buka, bahkan perlu lembur.”
“Tak apa, aku tak punya jam makan malam. Hari Sabtu jam sembilan malam aku jemput.”
“Aku bawa mobil.”
“Tak masalah. Nanti aku bawa sopir. Sopirku membawa mobilku pulang. Aku menyetir mobilmu. Nanti kuantar kau pulang. Aku pinjam mobilmu satu malam. Hari Minggu kukembalikan.”
Aku sudah tidak menanggapi Rio. Tidak peduli apapun yang ia katakan, yang penting aku dapat tanda-tangannya sekarang.
***
“Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa pindah ke Jakarta?”
“Ya, pindah saja. Tinggal bawa baju dan uang,” jawabku sekenanya.
“Kenapa sih malam ini kau galak sekali?”
“Hawaku hari ini tidak dingin.”
Rio tertawa.
“Kau tau, Rio, aku benci padamu?” Aku akan menggunakan waktu ini untuk menyelesaikan kemarahanku yang belum sempat kuungkapkan dulu.
Rio menggeleng.
“Kalau begitu kau kulit badak, muka tembok, tak punya perasaan.”
“Masa?”
“Kau sudah lupa kejahatanmu dulu padaku?”
“Masa membayarkan uang kuliah orang pandai, kau anggap kejahatan.” Rupanya Rio tidak lupa, bahkan menjawab dengan tepat. “Harusnya kau anggap itu beasiswa, bukan kejahatan. Apa dunia hukum mengenal kejahatan kategori membayarkan uang kuliah dengan tulus, ikhlas, dan…”
“Jangan mengolokku! Itu sama sekali tak lucu.” Aku memasang muka serius. “Urusan itu belum selesai.”
“Bukannya sudah lama tamatnya. Aku kan cukup malu waktu kau tampar mukaku dengan uang. Uang-uang itu terbang dan berhamburan. Banyak mahasiswa mendatangiku, bertanya kenapa. Tapi kebanyakan yang datang padaku sih bukannya prihatin, tapi berebut memunguti uang.”
Rio mengeser gelas milk shake vanila ke depannya.
Aku diam, merasa jahat. Tapi mengapa dulu aku tidak merasa jahat. Bahkan pada menit yang lalu pun, aku masih berikhtiar untuk memarahi Rio. Rasanya aku sangat keterlaluan. Benar. Rio pasti amat malu saat itu. Bagaimana harga dirinya jatuh di hadapan mahasiswa lain, dosen, teman-temannya, siapapun yang melihat “pelemparan uang” itu. Padahal mungkin alasan Rio bukan untuk menghinaku. Tapi mengapa kebaikan Rio tidak datang tepat pada waktunya, sehingga aku bisa merasakan perbuatannya adalah kebaikan.
“Untung kejadian itu hanya berselang satu minggu dari wisuda sarjanaku,” sambung Rio setelah menyedot milk shake-nya. “Aku bisa cepat-cepat pergi dan melupakan penghinaan itu.”
Aku tertegun. “Peristiwa meja makan” telah membuatku buta, menutup hati rapat-rapat, dan membatasi pergaulanku. Aku hanya menghabiskan waktuku dengan buku, anak-anak SD, lalu pekerjaanku di kantor hukum.
“Thea, jangan melamun terus! Maafkan aku.” Ada ketulusan dari kata-katanya. Kemudian Rio mengangkat jari kelingking kanannya. “Kita baikan, ya!”
Aku senyum terpaksa. Malu pada Rio. “Aku bukan anak SD, tak perlu jari kelingking.”
“Kalau begitu jari ini.” Rio mengangkat jari tengah kanannya.
“Itu namanya kau kurang ajar. Mengajakku ribut kembali dan ingin kubenci lagi.”
“Berarti sekarang kau sudah tak benci lagi padaku,” Rio tertawa lepas. Melihatnya demikian, aku pun merasa bebas dan entah mengapa hatiku menjadi damai, ada kehangatan dan sukacita di sana.
“Kudengar kau tinggal dengan Ayahmu dan Nenekmu...”
“Sudah meninggal.” Nada suaraku melemah.
“Maaf. Tak bermaksud membuatmu sedih.” Cepat-cepat Rio mengganti topik pembicaraan. “Malam ini aku bawa mobilmu pulang, ya. Soalnya aku tak biasa diantar pulang seorang perempuan. Eh, tapi kau percaya padaku kan?”
“Tak mungkin kan orang sekayamu masih perlu sedan butut?”
Rio tertawa. “Tapi kau akan sangat menyesal mempercayaiku membawa mobilmu pulang, kalau nanti kukembalikan hanya ban-nya saja.”
Begitulah Rio. Sangat mudah berbaikan dan bermusuhan dengan Rio. Tanpa alasan ia akan datang dan pergi dari hadapanku. Dengan mudah aku mengenalnya. Dengan mudah pula aku melupakannya. Dengan mudah ia baik padaku. Dengan mudah juga aku merasa dekat dengannya.
***
Aku takut sekali. Aku berlari sekuat tenagaku. Sebentar-sebentar, kutengok ke belakang, kemudian aku nyaris tertabrak mobilku sendiri. Aku berteriak dan menutup kedua telingaku dengan sepasang telapak tanganku.
“Thea!” Rio menghampiriku. “Thea, kau kenapa?” Rio mengguncang-guncang tubuhku. “Ada apa, kau basah seperti ini? Wajahmu…”
Aku tidak mengingat apa-apa lagi. Lalu aku mencium bau kayu putih. Sewaktu aku membuka mataku, aku sudah duduk bersandar di jok samping kemudi mobil, mengenakan jaket Rio.
“Rio, tolong aku!” Aku mengguncang-guncang lengan Rio. “Tolong aku!”
“Tenang, Thea. Tenang!”
Aku menangis tersedu. Rio mengambil tissue di mobil dan menghapus butir-butir air mata di pipiku, sambil berkata, “Menangislah sepuasmu. Setelah itu, ceritakan apa yang terjadi padaku. Mengapa di siang hari bolong seperti ini, kau berlari kesetanan. Mengapa kau basah kuyup seperti ini. Mengapa juga pipi dan lenganmu biru-biru.”
Aku menghabiskan seluruh tissue di mobil. Rio memperhatikanku. Sabar menunggu tangisku reda. Matanya menatapku penuh tanda tanya, penuh arti.
“Tadi Ayahku pulang bersama seorang wanita,” kataku sambil menarik udara lewat hidungku yang mandet.
Rio memalingkan wajahnya dariku. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tak lama kemudian Ayah keluar dari kamarnya sambil bertengkar dengan wanita itu,” sambungku. “Wanita itu pergi sambil melemparkan vas bunga ke arah Ayah. Aku sedang makan mie dan aku tahu sesuatu yang buruk akan segera terjadi padaku. Belum sempat aku lari keluar rumah, Ayah lebih dulu telah menumpahkan mieku, kemudian menjambak rambutku, dan menyeretku hingga ke kamar mandi. Lalu mencelupkan kepalaku ke dalam bak mandi.”
Rio mengepal jari-jari tangannya.
“Lalu,” katanya tak sabar.
“Ayahku berteriak-teriak, katanya semua perempuan sama saja, tak berguna. Aku hampir kehabisan nafas dan sekuat tenagaku kudorong badan Ayah. Akhirnya aku bisa mengangkat kepalaku. Belum sampai aku ke pintu depan rumah, Ayah telah mencengkram kuat lenganku dan menamparku berkali-kali, kemudian melemparkan tubuhku hingga menabrak pintu. Susah payah aku berdiri, lalu berlari keluar rumah, pagar, hingga ke jalan. Ayahku terus mengejarku.”
Aku terdiam sejenak. “Apa kau bertemu Ayahku?” tanyaku kemudian.
Telapak tangan Rio sudah tidak terkepal lagi. Namun, Rio seperti melamun, ia tidak menjawab pertanyaanku.
“Rio,” panggilku. “Kau tidak mendengarkan ceritaku?”
Rio membuang nafasnya. “Kalau aku bertemu Ayahmu, aku tidak perlu bertanya penyebab kau sampai begini. Apa Ayahmu sering memperlakukanmu seperti ini?”
Aku pura-pura tak mendengar. Enggan menjawab.
Tapi Rio seperti menemukan jawaban dari tindakanku. “Kau tak perlu menjawabnya,” kata Rio padaku. “Aku tahu jawabanmu.”
Hening menyelimuti kami. Untuk beberapa saat kami mengunci mulut kami. Kurebahkan kepalaku di sandaran jok mobil. Rasanya menyesal berbaik hati pada Ayahku. Sering aku berniat untuk mencari tempat tinggal yang lain saja, entah mencari kos, mengontrak rumah, atau apapun, yang penting tidak satu atap lagi dengan Ayahku. Tak ingin bertemu atau peduli lagi dengannya. Tapi aku pasti mengurungkan niatku itu apabila melihatnya. Batinku masih punya rasa kasihan kepadanya, orang yang membuatku ada di dunia ini. Walaupun pedih jika kuingat segala derita yang harus kutanggung karenanya.
Ayah membuat ibuku meninggalkanku, bahkan melupakan aku. Membuat masa kecilku berantakan, membuatku dewasa di saat aku belum pantas berpikir dewasa. Menjengukku hanya untuk mengambil uang atau barang dagangan Nenek, ibunya sendiri. Nenek harus menafkahiku, mencari uang, dan mengontrak rumah sangat sederhana untuk tempat berlindung kami. Ayah terlalu menyiksa Nenek, bahkan sampai hari di waktu Nenek meninggal, Ayah entah di mana.
Secara langsung maupun tidak langsung, Ayah membuatku malu dalam “peristiwa meja makan”. Membuatku kehilangan masa-masa di waktu seharusnya aku bahagia. Aku harus menjadi guru les banyak anak SD agar punya cukup uang untuk meluluskan cita-citaku. Tatkala aku berhasil meraih gelar sarjanaku, ia malah sedang mendekap di LP Cipinang, karena terlibat kasus pencurian berkomplot. Sungguh memalukan. Seorang Sarjana Hukum harus mempunyai Ayah yang melanggar hukum, bahkan sampai masuk penjara.
Beruntung dalam penderitaanku, sebuah kantor hukum ternama di Jakarta menawariku pekerjaan. Sedikit demi sedikit, aku mempunyai uang untuk mencukupi hidupku, mencicil rumah, membeli mobil bekas, dan sedikit menabung. Tapi dalam ucapan syukurku, aku selalu mengingat Ayahku, satu-satunya keluargaku di dunia ini. Terlebih jika aku mengingat kata-kata Nenek bahwa berkat terbesar manusia di dalam hidupnya adalah kalau ia mau mengampuni dan mendoakan orang yang telah menyakitinya, terlebih lagi jika mengampuni dan mendoakan orang tuanya.
Akhirnya setahun yang lalu, di hari pembebasannya, aku menjemput Ayah di pintu lembaga pemasyarakatan. Aku mengajak Ayah tinggal di rumahku. Dua bulan berlalu, ia menjadi Ayah yang baik. Bahkan ia sempat berencana ingin membuka kios kecil, karena ia tidak punya ijazah SMA. Tapi tak kuduga, masa itu ada kedaluarsanya. Ayah kembali lagi pada kebiasaannya dulu. Ia mencuri uangku, menjual apa saja yang ada di rumah, mabuk, berjudi, dan main perempuan.
Dalam deritaku, aku kembali mengadu pada Tuhan dan Tuhan menjawab pengaduanku dengan mengingatkan aku pada kata-kata Nenek lagi. Nenek sering berkata padaku, bahwa cobaan yang Tuhan berikan padaku merupakan porsiku, tak akan melebihi kekuatanku. Jadi, aku percaya, Tuhan tak akan menimpakan siksaan Ayahku dengan melampaui pertahananku. Tapi kali ini, sungguh Ayah keterlaluan. Belum pernah dalam pelampiasan amarahnya, ia nyaris membunuhku.
“Thea,” sapa Rio memecahkan keheningan di antara kami.
“Ya,” jawabku sambil mengarahkan wajahku padanya.
“Apa kau masih perlu pertolonganku?”
Aku diam, memandang Rio. “Kau bisa menolongku apa?” tanyaku.
Rio menggenggam jemari tanganku sambil berkata, “Thea, menikahlah denganku!”
“Apa?” Aku tak percaya pada pendengaranku. Cepat-cepat kutarik jari-jariku dari genggaman tangan Rio.
“Aku ingin kau menikah denganku.” Rio berbicara lebih tegas.
“Kau gila. Belum satu minggu kita bertemu, berbaikan, dan …”
“Tapi kau sudah menunjukkan bahwa kau perlu perlindungan. Lagi pula, aku bukan orang baru dalam kehidupanmu. Kita sudah saling kenal sejak SMA.”
“Tapi hubungan pekenalan kita tidak terlalu baik...”
“Itu menurutmu. Apa kau masih membenciku karena...”
“Tidak. Tapi pernikahan adalah sesuatu yang serius, bukan untuk main-main, bukan hanya sekedar pertolongan atau perlindungan.”
“Aku serius dan tidak main-main.” Rio memandangku dalam-dalam.
“Thea, aku tidak percaya adanya kebetulan di dunia ini.”
“Maksudmu?”
“Aku sungguh sayang padamu.”
“Lalu apa hubungannya dengan kebetulan?”
“Banyak. Di dunia ini hanya ada kesempatan, pilihan, dan komitmen pada apa yang kau pilih.”
“Tetap nalarku tidak menerima. Aku tidak mengerti.”
“Tidak semua hal di dunia ini harus kau mengerti. Kadang ada hal-hal yang cukup kau terima tanpa pengertian.”
Mengapa Rio jadi aneh? Aku memandang Rio lebih dekat. Apa ia sakit? Atau mungkin kemasukan roh lain? Lalu sesuatu merasuki pikiranku. “Peristiwa meja makan”.
“Tapi aku takut.” Nada suaraku melemah.
“Takut aku memaksamu melakukan hal yang tidak kau suka?”
Aku menarik nafasku dalam-dalam.
“Aku tak akan memaksamu melakukan hal-hal yang tidak kau suka. Aku tak akan mencontoh Ayahmu. Aku janji.”
Aku diam.
“Karena kau baru berumur dua puluh delapan tahun?”
Aku masih diam. Tentu saja bukan karena umur.
“Takut kariermu hancur? Tenang, aku pencinta wanita karier. Aku tak suka perempuan yang kerjanya hanya nonton sinetron dan infotainment di rumah atau shopping dan bergosip tiap hari.”
Aku tetap diam.
“Karena kau masih mencintai Eri?”
“Jangan sebut nama itu lagi di hadapanku!”
Wajah Rio tampak bersalah, bercampur kaget karena aku membentaknya. “Maaf, tak bermaksud membuatmu marah,” Rio cepat-cepat mengkoreksi pertanyaannya. “Aku janji tak akan pernah menyebut nama itu lagi.”
Setelah aku tenang, Rio berkata, “Aku tak tahu apa yang membuatmu takut menikah denganku. Tolong kau beritahu aku.”
“Aku takut sejarah berulang kembali dalam hidupku.”
Rio diam, mengisyaratkanku untuk menjelaskan pernyataan itu.
“Rio, kau tau kenapa aku putus dengannya?”
Rio menggeleng.
“Karena aku miskin, keluargaku hancur. Sementara ia kaya, keluarganya utuh. Ia memilih keluarganya daripada aku. Ia meninggalkan kampus, meninggalkanku, dan terbang ke Belanda. Aku dipermalukan di hadapan keluarganya, tapi ia tidak membelaku sedikit juga, tidak menghentikan penghinaan yang dilontarkan keluarganya padaku. Jadi, semua yang terjadi padaku makin meyakinkanku bahwa persamaan akan membuat dua orang lebih mudah bersatu. Sementara perbedaan tak mungkin memberikan kemudahan itu.” Aku mengulang kata-kata Kak Lena padaku.
Rio menatapku dalam-dalam. Lalu ia berkata, “ Tapi Papaku pernah berkata bahwa perbedaan akan membuat hubungan dua orang itu menjadi indah.”
Kemudian Rio memelukku erat. Di bahunya aku menangis, menyembunyikan air mataku.
***
Kilau dari manik-manik gaun pengantinku masih menyatu dengan kelap-kelip perhiasan emas putih pada jari, leher, dan sepasang telingaku. Kini aku dan Rio serta seluruh keluarga kami berada di rumah Rio, rumah yang akan kutempati bersama Rio.
Ayahku pamit pulang dan selayaknya seorang Ayah, ia memberiku nasehat singkat, untuk menjadi seorang istri yang baik. Kedamaian menyapu hatiku. Aku bahagia. Dari raut wajah Ayah, aku tahu, hari itu juga Ayah turut berbahagia untukku.
“Kak, selamat ya,” kata Riko, adik Rio, menyalami tanganku. ”Sempat aku merasa berdosa karena melangkahi Rio.”
”Ah, panggil aku Thea saja. Kita kan seumur, malah lebih tua kau.”
”Tidak. Itu tak sopan,” sahut Mama Rio. ”Meskipun Riko lebih tua darimu, tetap dia harus memanggilmu kakak.”
Tawa menyelimuti rumah kami. Meskipun upacara dan pesta pernikahan itu melelahkan, tapi hari ini aku sangat bahagia. Hanya tawa, senyum, berkat, dan selamat yang kuterima hari ini. Setelah satu per satu keluarga Rio pulang, aku langsung pergi ke kamarku dan Rio. Setelah selesai mandi, aku langsung menjatuhkan diriku ke atas ranjang dan tertidur pulas.
Keesokan harinya, aku dan Rio terbang ke Singapura. Kami berjalan-jalan, belanja, dan menghabiskan waktu di sana hanya selama satu minggu. Karena kesibukan kantor hukum tidak memungkinkanku untuk mengambil cuti terlalu lama.
Hari pertama aku masuk kerja, setumpuk pekerjaan sudah menanti di mejaku. Hari itu aku mengambil lembur yang panjang. Rio menjemputku pada jam pulangku. Demikian pula keesokan harinya, hingga satu minggu berlalu.
Barulah pada akhir pekan, aku bisa melepaskan lelahku dari pekerjaan dengan jam tidur yang panjang. Keesokan harinya, aku makan siang bersama Rio. Kemudian aku meminta Rio mengantarkanku ke mall. Aku ingin memanjakan diriku di salon, kemudian shopping. Rio ingin menemaniku, tapi aku menolaknya. Aku menyarankan Rio pulang dan menonton DVD-DVD kesukaannya saja. Aku bisa berjam-jam di salon, sementara Rio bisa mati bosan menungguku. Belum lagi shopping. Di Singapura saja, Rio ngomel-ngomel padaku karena aku memasuki semua mall dan toko.
Setelah puas seharian di mall, aku pulang naik taksi. Tak terasa, hari sudah gelap. Hari Minggu terlalu cepat berlalu, gumamku.
Aku membuka pintu kamarku. Nampak Rio sudah tidur. Aku mengganti pakaianku dan menjatuhkan tubuhku di tempat tidur kami. Tetapi Rio malah memelukku dan saat itu aku merasakan ia sangat mencintaiku. Dalam beberapa waktu, aku pun berubah dari seorang gadis menjadi seorang istri.
***
Sudah sekitar delapan tahun, aku tidak mengunjungi Bandung, kota kelahiranku. Sejak aku bekerja di kantor hukum ini, aku tinggal di Jakarta dan menjadi penduduk tetap ibukota. Walaupun jarak Jakarta-Bandung menjadi singkat karena adanya Tol Cipularang, tetap aku berpantang mengunjungi Bandung. Buatku, di sana terlalu banyak kenangan pahit. Tapi, hari ini aku terpaksa pergi mengunjung “kota kenangan” itu karena ditugaskan oleh Bos untuk meeting dengan klien kami yang ada sana.
Di perjalanan, aku mengetik SMS, “Rio, aku dapat tugas ke Bandung. Siang juga aku sudah di kantor lagi.” Tidak sampai satu menit, Rio membalas SMS-ku, “Ya, hati-hati.” Lalu aku hanya memasang nada getar pada hand-phone-ku. Aku tak mau hand-phone-ku berdering ketika aku sedang meeting.
Aku telah menyelesaikan pekerjaanku dengan baik. Ketika aku sedang menunggu mobil kantor menjemputku di pintu utama, seorang laki-laki yang jelas kukenal menghampiriku dan menegurku, “Thea.”
Aku tidak percaya pada penglihatanku, tetapi aku memberanikan bibirku menyebut namanya, “Eri, kau…”
“Ya, ini aku. Apa kabarmu?”
“Baik.”
“Kau sangat berubah, Thea.” Eri memperhatikan seluruh penampilanku, mulai dari tatanan rambutku, make-up-ku, pakaianku, sepatuku, hingga tas kerjaku.
Aku tersenyum sinis. Nyeri kembali kurasakan di dadaku. Kuingat kembali bagaimana Papa dan Mamanya menghinaku. Juga Kak Lena. Bagaimana ia memutuskan hubungan denganku. Tidak sampai satu kali dua puluh empat jam setelah “peristiwa meja makan”, Eri mencariku di rumah salah seorang anak les-ku dan menyatakan putus hubungan denganku. Alasannya idealis, ia tak mau melawan kedua orang tuanya dan mau meneruskan kuliah di Belanda. Hanya itu, lalu ia tak pernah kulihat lagi di seluruh sudut kota Bandung.
“Kau juga berubah. Bagaimana kuliahmu di Belanda?”
“Tidak selesai.”
“Apa harta orang tuamu tak cukup membiayaimu di sana?”
Untuk sejenak Eri diam, lalu berkata, “Aku melamar pekerjaan di sini. Aku baru saja memasukkan lamaranku melalui meja resepsionis.”
“Oh, ya?” Aku memasang muka heran. “Bukankah kau seorang anak dari keluarga yang kaya, masa…”
“Aku mohon, Thea. Berhentilah mengolokku.”
Aku memandang wajahnya, memang Eri sekarang jauh lebih kurus daripada dulu. Aku memperhatikan pakaian dan sepatunya, memang semuanya menampakkan kesederhanaan. Mendadak hatiku menjadi iba, nyeri di hatiku hilang seketika. Aku seperti lupa diri dan menemukan setengah diriku yang hilang.
“Banyak derita yang kualami, setelah kita berpisah,” sambung Eri.
Demikian pula aku, batinku. Apa kau tahu sebelum aku mengunci pintu hatiku, aku sudah memasukkanmu di dalamnya?
“Pasti kau menjadi orang sukses sekarang.”
Aku tersenyum enggan.
“Apa kau punya waktu hari ini, Thea?”
“Aku harus kembali ke Jakarta.”
“Jakarta?”
“Ya, aku sudah lama tinggal di Jakarta, mendapatkan karier di sana.” Dan juga menikah di sana, kataku dalam hati.
Mobil kantorku tampak, tak lama berhenti di hadapanku. Seorang satpam membukakan pintunya untukku.
“Kau tidak punya waktu, biar hanya sebentar?”
“Baiklah, mobilmu bisa jalan lebih dulu. Mobilku akan mengikutinya.”
“Aku naik kendaraan umum.”
“Maaf,” koreksiku. “Kalau begitu naiklah ke bersamaku. Kita bisa pergi mengobrol ke café.”
Namun Eri menunjukkan suatu tempat yang baru bagiku. Bukan café, tetapi juga bukan ”istana”.
***
“Silakan diminum. Maaf, hanya air putih.”
“Tak apa, Tante.”
Aku berusaha menguasai diriku. Delapan tahun yang lalu, tak mungkin kata-kata itu terucap dari mulut Mama Eri. Di waktu itu, aku hanya seorang gadis dua puluh satu tahun yang miskin, polos, dan tak punya kekuasaan apapun. Aku harus berani mengarungi kehidupanku sendiri dengan bilur-bilur luka dan derita. Luka karena penghinaan dan derita karena cinta, yang akhirnya menyulapku menjadi seorang perempuan yang dingin.
“Sekarang kau berbeda, Thea. Kau sangat cantik.” Aku tak tahu, angin jenis apa yang membuat Mama Eri sanggup memujiku.
“Terima kasih, Tante.”
“Apa kau benci pada Tante?”
Aku kaget. Aku bukan pendendam, meskipun hatiku masih terluka. Bagiku, melupakan dan mengampuni adalah dua hal yang berbeda. Melupakan adalah urusan otak semata, yang akan lenyap ketika aku hilang ingatan atau aku sudah pikun. Sementara tidak demikian halnya dengan mengampuni.
“Yang pasti aku sudah memaafkannya.”
“Aku telah memaksa Eri untuk memutuskanmu, tapi malapetaka itu tetap datang. Kalau saja kau masih dengan Eri…”
Pasti aku yang kena batunya, batinku. Tapi yang keluar dari mulutku, “Sudahlah Tante, itu masa lalu. Pedih kalau kita mengingatnya terus.”
“Aku menyesal, mengapa tak membiarkan kalian tetap bersama dan…”
Penglihatan mata Mama Eri berhenti di jari manis kananku.
“Rupanya kau telah menikah.”
Aku memaksakan bibirku senyum.
“Sudah berapa anakmu?”
“Belum, Tante.”
Sepasang anak berlari berkejaran sambil mengitari Mama Eri. Salah seorang dari mereka menangis dan berusaha memukul yang lainnya.
“Hentikan,” teriak Mama Eri. “Malu kan. Ada tamu.”
Eri keluar dari suatu pintu, mungkin dari kamar tidurnya, sambil berseru, “Hei, nanti kuadukan pada Mama kalian kalau kalian nakal!” Eri sudah berganti pakaian dengan pakaian yang lebih sederhana dari yang ia kenakan tadi.
Sepasang anak itu mendekati Eri dan merayu Eri untuk tidak melaporkan pertengkaran mereka pada Mama mereka. Lalu Eri berjanji tidak akan melaporkan mereka asal mereka masuk dan belajar.
“Anak-anak,” kata Mama Eri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tak banyak pikiran, main dan bertengkar. Thea, nanti anak-anakmu juga demikian.”
Eri berjalan menghampiri tempat kami duduk, sambil berkata, “Tapi anak-anakku dan Thea tidak akan senakal anak-anak Kak Lena.”
Aku terpaku memandang Eri. Mama Eri seperti menyadari kesalahannya berbicara, kemudian ia berkata bahwa ia harus ke dapur dulu dan meninggalkanku berdua dengan Eri.
“Thea,” kata Eri sambil menjatuhkan badannya di sofa. “Keadaan aku dan keluargaku tidak seperti dulu lagi. Sekarang kami bukan orang kaya lagi. Dulu kau pernah berkata padaku bahwa kekayaan bukan alasan kau untuk menikahi seseorang. Apa kata-katamu itu masih berlaku sekarang?”
Aku diam, memikirkan bagaimana cara aku mengatakan bahwa aku telah berumah tangga.
“Thea, apa kau tidak mau menikah denganku?”
“Tapi…”
“Aku sungguh membutuhkanmu. Aku perlu support-mu dalam menjalankan usahaku.”
“Tapi…”
“Mama sudah berubah, ia pasti merestui kita. Sayang Papa sudah meninggal dunia.”
“Oom?”
Eri mengangguk. “Menjelang tahun ketiga studiku di Belanda, usaha Papa bangkrut. Papa mendapat cek kosong dari mertua Kak Lena. Aku dipanggil pulang dan tidak menyelesaikan kuliah di sana. Seluruh saudara mendadak menjauhi kami dan tidak mengenal kami lagi. Tak lama Papa meninggal dunia. Kemudian Kak Lena bercerai. Selain karena persoalan Papa dan Mertuanya, ternyata suami Kak Lena mempunyai istri simpanan. Kak Lena dan ketiga anaknya tinggal di sini. Sekarang ia sedang bekerja.”
Sejenak aku lupa tentang statusku sekarang. Aku menyimak cerita Eri dan terhanyut dalam penuturannya. Aku tahu, Tuhan memang Hakim yang Adil. Tapi, sungguh dalam doaku, aku tak pernah memohon hukuman seperti ini untuk Eri atau keluarganya.
“Kemudian Mama menjual semua harta yang tertinggal untuk membayar gaji pegawai dan melunasi semua utang usaha Papa. Mama meminta pertolongan Kak Sita, tapi ia tak bisa berbuat banyak. Suaminya melarang untuk terlalu ikut campur tangan di dalam persoalan keluarga kami. Namun demikian, Kak Sita masih membelikan Mama rumah ini dan memberi Mama uang bulanan.”
Kak Sita, gumamku dalam hati. Aku tahu, memang kau sangat baik. Mungkin dulu peranmu tidak sepenting Kak Lena. Tapi sekarang, peranmu lebih penting dua kali lipat daripada Kak Lena.
“Sempat aku meminta pekerjaan pada Kak Sita, tapi Kak Sita menolaknya. Suami Kak Sita tak ingin Kak Lena ataupun aku bekerja pada mereka. Biar begitu, ia dan suaminya tak membiarkanku begitu saja. Mereka menyarankanku menyelesaikan kuliah di kampus kita dulu, bahkan membiayai kuliahku. Aku mentransfer nilai-nilai mata kuliahku dari Belanda. Dua tahun kemudian, aku diwisuda. Jadi Sarjana Hukum di umur dua puluh enam tahun. Thea, di umur yang sama denganku, kau pasti sudah berhasil.”
Aku menyungingkan bibirku sedikit.
“Aku susah beradaptasi menjadi bawahan, Thea. Jadi, aku terus-menerus mencari pekerjaan baru.”
“Seharusnya kau mau belajar untuk memahami atasanmu dan setia pada pekerjaanmu. Buatlah pilihan dan berkomitmenlah untuk pilihan itu!” Itu kan kata-kata Rio, suamiku.
Eri tersenyum lalu berkata, “Aku yakin aku bisa berhasil asal kau di sampingku. Sekarang ceritakan padaku, bagaimana kau selama ini?”
“Eri, aku ingin kau tidak terlalu berharap padaku.”
“Mengapa?” tanyanya heran.
“Aku sudah menikah dengan Rio.”
Wajah Eri memucat. Tampak kecewa tergambar pada sorot matanya. Beberapa detik kemudian ia berkata, “Hanya satu Rio yang aku kenal. Apa Rio yang menghilangkan buku catatanmu dulu?”
Aku mengangguk.
“Ternyata aku sendiri yang memberikan kesempatan padanya untuk memilikimu.”
“Maksudmu?”
“Bukankah sejak SMA Rio menyukaimu?”
“Tidak. Ia baru menyukaiku setelah aku lama di Jakarta. Aku bertemu dengannya di kantorku.”
Eri diam. Kulihat rahangnya mengeras.
“Cepat juga kau melupakanku,” pernyataannya seolah mengolokku. “Bahkan kau bisa mengambil keputusan untuk menikah dengan orang lain. Sia-sia aku mencari dan menunggumu kembali padaku.”
Benarkah? Apa Eri selama ini menungguku kembali? Mengapa kata perpisahannya dulu tidak menyinggung sama sekali soal penantian? Mengapa dulu ia sangat egois seolah tidak merasakan penderitaanku.
“Dengan terpaksa aku mengambil keputusan itu. Aku harus memilih, orang tuaku atau kau. Aku bingung. Aku dikirim ke Belanda, dipaksa melanjutkan kuliah di sana, dan tinggal bersama Oom-ku. Aku terus menulis surat untukmu, tidak kau balas.”
Aku tak lagi tinggal di rumah kontrakan itu lagi, kataku dalam hati.
”Terakhir aku menyewa orang untuk melacakmu. Namun hasil apa yang kudapat? Hanya satu jawaban, kau sudah tidak ada di Bandung.”
Panas kurasakan di mataku. Jika tahu kau akan melakukan itu, aku akan mengabarkan padamu, ke mana aku pergi, bekerja di mana, dan lain sebagainya. Aku pasti tak akan menderita karena cintamu.
“Kenapa kau menangis?”
“Oh…” Aku mengedip-ngedipkan mataku.
“Thea, apa kau masih mencintaiku?”
Aku tertegun. Memang aku memang masih mencintainya.
“Thea, aku tahu kau masih mencintaiku. Kembalilah padaku. Kita jangan membuang kesempatan lagi, menyiksa diri lagi karena cinta.”
Aku pulang ke Jakarta dengan perasaan hampa. Dari kaca jendela mobil, aku melihat Eri melambaikan tangannya padaku dan berulang kali berteriak, “Aku menantimu, Thea!” Setengah jiwaku tertinggal pada Eri. Sepanjang jalan pulang hanya Eri yang kupikirkan.
***
Aku mendorong perlahan pintu kamar. Gelap. Kemudian segumpal cahaya menyala di sudut kamar. Rupanya Rio menyalakan lampu duduk di samping tempat tidur kami.
“Thea, dari mana saja kau? Apa jam sepuluh malam itu siang hari?”
“Aku banyak pekerjaan.” Rasa bersalahku membuatku bertambah berani.
“Tak apa kau tidak pulang juga, tapi hubungi aku! Cari aku!”
“Sudahlah Rio, aku lelah!” Aku melemparkan tas kerjaku sembarangan.
“Thea!” Rio mencengkram lenganku dengan kuat.
“Lepaskan tanganku. Sakit. Kau tahu ini sakit.”
“Thea, kumaafkan kalau kesibukanmu membuat kau tak sempat menghubungiku. Tapi beri aku penjelasan, mengapa kau tidak mengangkat teleponku, membalas SMS-ku!”
“Rio, aku sibuk. Lepaskan tanganku!” Aku berusaha melepaskan cengkeraman tangan Rio.
“Lebih dari dua ratus kali, aku meneleponmu, bahkan aku jamin hp-mu sudah tidak bisa menampung lagi SMS.”
“Hp-ku hilang. Lepaskan aku!”
Ada sesuatu yang bergerak di dalam tas kerjaku. Mataku dan mata Rio sama-sama memandang gerakan itu. Celakalah aku! Hand-phone-ku bergetar.
“Cepat kau angkat.”
“Tidak perlu. Lepaskan tanganku!”
“Kau,” Mata Rio memerah. “Berani membohongiku! Kau dari mana?”
“Aku mengunjungi makam Nenek.”
“Apa?” Rio mencengkeram lenganku lebih kuat.
Hand-phone-ku masih terus bergetar.
“Angkat! Cepat kau angkat!” Rio menyambar tas kerjaku dengan tangan sebelahnya dan menumpahkan seluruh isi tasku.
“Tidak. Tidak perlu.” Tapi kukerahkan tenagaku. Beradu cepat dengan Rio untuk meraih hand-phone-ku. Tapi sebelum aku meraihnya, Rio telah lebih dulu melemparkannya ke dinding. Aku terpaku melihat hand-phone-ku yang hancur berkeping-keping.
“Berkatalah jujur padaku.” Nada suara Rio melemah, demikian pula dengan cengkeraman tangannya.
“Aku kerja,” bentakku. “Aku sibuk. Hanya itu dan kau tidak perlu mengurusiku. Aku bukan anak kecil yang harus melaporkan seluruh kegiatanku padamu.”
“Tapi aku suamimu.”
“Memangnya kalau kau suamiku, kau berhak mengaturku? Berhak tahu semua urusanku? Berhak menghancurkan barangku?”
“Thea, aku bertanya baik-baik padamu dan kau menanggapiku demikian?”
“Dengar! Jangan usil pada urusanku!”
Aku hendak mengumpulkan kepingan hand-phone-ku.
“Aku sangat kecewa padamu.”
Aku tidak menghiraukan perkataan Rio.
“Besok aku ganti hp-mu.”
Mendengar penyataan Rio, aku bukan bertambah bersalah. Aku malah menyemprotnya, “Dengar, aku juga masih mampu membeli hp baru! Aku bosan denganmu. Aku tidak suka kehidupan ini. Aku tak suka kau atur. Kau sangat menjijikkan!”
“Kau…”
“Ya, kau sangat menjijikan. Membuatku mengambil keputusan yang salah dalam hidupku. Kau penjahat. Kau…”
Rio sudah mencengkeram lenganku lagi, lebih keras dari cengkeramannya yang pertama. Telapak tangan kanannya terangkat penuh tenaga, siap untuk menamparku. Tapi, sebelum mengenai pipiku, Rio menghempaskan tangannya kuat-kuat.
Belum sempat aku menyadari kekeliruanku, Rio sudah melepaskan cengkeraman tangannya. Tenaganya terlalu besar sehingga membuat tubuhku hilang keseimbangan dan menabrak meja riasku. Tapi Rio tidak peduli. Tidak peduli aku jatuh, terbanting, terluka, sakit, menangis, atau apapun. Ia tidak mempedulikanku dan pergi. Pergi bersama alam sadarku.
***
Pening kurasakan di kepalaku. Namun aku tetap memaksa tubuhku untuk berdiri, lalu duduk di samping ranjangku. Aku memperhatikan diriku di kaca meja riasku. Mataku bengkak. Apa aku tetap bisa menangis biar aku pingsan? Aku mengusap keningku. Ada serpihan darah yang telah mengering di situ. Aku merasakan nyeri pada lenganku. Ada cengkeraman biru di sana. Aku teringat Ayah, kemudian aku berlari hingga hampir tertabrak mobil. Lalu Rio menolongku. Rio? Apa yang kulakukan?
Aku memanggil Rio, memanggil lagi, dan memanggil lagi. Beratus kali aku memanggil namanya. Dadaku terasa sesak. Rio meninggalkanku sendiri. Dalam keheningan malam, hatiku pun hening. Tapi pikiranku kacau, membawaku dalam mimpiku yang buruk.
***
Telepon berbunyi. Aku masih meringkuk di tempat tidur. Aku memanjangkan tanganku dan mengangkat gagang telepon. Tanpa ragu aku langsung menyebut, “Rio…”
“Kak Thea, ini Nina.”
Jawaban Nina menyadarkanku. Dengan kilat, kulihat jam dinding. Jam satu. Jam satu siangkah ini?
“Kak, Bos berulang kali menanyakan hasil meeting kemarin. Kami semua tidak tahu, lagipula Kakak belum datang. Bos menyuruhku menghubungi hp Kakak, tapi tidak bisa. Jadi…”
“Nina.” Aku memaksa tubuhku untuk duduk. Suaraku serak. “Aku tidak enak badan.”
“Oh, Kakak…”
“Nina, aku minta tolong, sambungkan telepon ini pada Bos.”
Hanya beberapa detik aku menunggu suara Bos.
“Thea, kau bagaimana? Jam berapa sekarang?”
“Maaf, Pak. Saya sakit.”
“Hubungi kantor kalau kau sakit. Telepon. SMS. Kalau perlu email,” bentak Bosku. “Menyusahkan orang lain!”
Aku teringat pada pertengkaran aku dan Rio. Karena hal ini juga kan.
“Maaf, Pak.”
“Aku perlu hasil meeting kemarin. Siapkan dokumennya! Sekarang juga kusuruh orang dari sini menjemputnya ke rumahmu.”
Telepon terputus. Aku mengingat Rio. Rasa bersalahku bercampur dengan kecemasan. Aku menghubungi hand-phone Rio, telepon kantornya. Dengan seribu macam kebohongan, kuhubungi semua nomor yang berhubungan dengan Rio. Tidak ada. Ke mana Rio. Beginikah rasanya cemas. Setengah jam kemudian, bel rumah berbunyi. Cepat-cepat kusambar dokumen meeting-ku. Ketika pintu kubuka, seorang laki-laki memberikanku sebuah kotak yang terbungkus rapi.
“Tolong tanda-tangan di sini, Bu,” kata laki-laki itu.
Dengan bingung, aku menandatangani suatu kertas tanda terima. Laki-laki itu mengucapkan terima kasih dan pergi. Aku masuk kembali ke rumah dan membuka kotak itu. Sebuah hand-phone. Aku tahu, siapa pengirim ini. Aku mencari simcard-ku dan memasangnya dalam hand-phone baru itu. Sambil membiarkan baterainya terisi, aku membuka fiture hand-phone. Hanya ada nama Rio pada kotak Missed Call dan benar, kotak Inbox bahkan tidak bisa menerima SMS lagi. Dengan asal aku membuka salah satu SMS Rio, lalu membacanya, “Sayang, kau di mana? Aku khawatir sekali. Apa kau baik-baik saja?” Mataku terasa hangat, lalu meng-forward SMS itu ke nomor hand-phone Rio.
***
Jam dua belas malam. Aku masih duduk di dekat telepon. Tiap lima menit sekali kuhubungi hand-phone Rio. Bahkan SMS yang aku forward tadi siang ke hand-phone Rio belum juga delivered.
Hand-phoneku berbunyi. Aku melihat nama itu.
“Eri.”
“Belum tidur?”
“Belum.”
“Dari kemarin aku menghubungimu. Susah sekali.”
“Hp-ku rusak.”
“Apa Rio tahu kalau kau bertemu aku?” Nada suara Eri menandakan ia ragu pada jawabanku.
“Tidak.”
“Apa Rio ada di dekatmu?”
“Tidak.”
“Aku rindu padamu. Sudahkah kau mengatakan padanya kalau kita mau bersama lagi?”
“Belum.”
“Kau kenapa sih?”
“Tak apa. Aku hanya sedang bingung saja.”
“Memikirkanku?” Terdengar Eri tertawa. Aku pun tertawa enggan.
“Eri, aku menyelesaikan pekerjaanku dulu. Besok kuhubungi kau.”
“Baiklah, Putri Sibuk. Aku mencintaimu.”
Kali ini sungguh aku tak berharap Eri mencariku. Rio. Beratus kali aku memanggil nama Rio. Kau di mana? Aku cemas sekali. Aku takut sekali. Besok, aku akan mengaku masih sakit pada Bosku. Aku sudah berencana akan mencarinya. Ke kantornya. Ke rumahnya. Ke mana saja.
Tapi aku tidak bisa tenang. Pikiranku terus melayang, membayangkan hal-hal buruk terjadi pada Rio. Oh, Rio. Di mana kau sekarang. Aku mencari foto Rio. Aku melangkahkan kakiku. Aku harus ke kantor polisi sekarang.
Aku membuka pintu rumah. Di teras rumah Rio ada, sedang menghitung kelopak bunga mawar merah. Seketika itu juga rasa cemasku hilang. Hatiku penuh dengan kelegaan. Aku langsung menghampirinya dan memeluknya.
“Rio, dari mana saja kau?”
“Membeli ini,” katanya sambil menyerahkan sekuntum mawar merah padaku. “Kelopaknya ada tujuh puluh delapan. Kalau kuhitung sekali lagi, jumlahnya sama, aku akan memencet bel pintu.”
Sukacita dan haru menyatu dalam air mataku.
“Hampir aku mau ke kantor polisi. Melaporkan hilangnya kau. Kau jahat! Semalam kau di mana? Hp-mu?”
“Aku di mobil. Hp-ku habis baterai.” Rio menunjukkan hand-phone-nya padaku.
“Memangnya kau tidak ke kantor?”
Rio diam.
“Apa aku harus menjawabnya?”
“Aku istrimu. Kau…” Aku tidak melanjutkan kata-kataku karena ingat pertengkaran kami semalam. Rasanya malu pada Rio. Untuk menyembunyikan rasa malu itu, aku membalikkan badanku dan berjalan masuk ke rumah. Rio menutup pintu dan mengikutiku.
“Semalam aku kesal sekali padamu,” katanya sambil mencari charger hand-phone, “Aku bawa mobil tanpa tujuan. Akhirnya aku parkir di halaman kantormu saja, sampai ketiduran pula di sana,” Ia memasangkan hand-phone-nya pada charger.
“Aku bangun, menunggumu sampai jam sebelas siang, tapi kau tidak muncul juga. Aku ingat hp-mu kuhancurkan. Jadi aku pergi ke mall, beli hp. Lalu menyuruh pegawaiku mengirimkannya padamu.” Ia mengaktifkan hand-phone-nya.
“Aku di kantor, tapi aku tak bisa berpikir. Kemudian aku minta operator telepon kantor meng-cancel semua telepon untukku.”
“Kau mengajari orang untuk membohongiku dan…” Kembali aku tidak meneruskan kata-kataku. Aku ingat pertengkaran kami lagi. Tapi Rio tidak mencelaku dengan kata-kata apapun.
“Jam tiga sore, aku sudah meninggalkan kantor. Aku ke Mc D.”
Mengapa aku tidak mencarinya ke Mc D, gumamku. Rio kan suka sekali dengan ayam yang membuat orang cepat gemuk itu.
“Kemudian aku ke Teen, café kesukaanmu itu. Makan, minum, bengong, dan beli bunga.”
Satu bunyi SMS terdengar dari hand-phone Rio. Bening kulihat di mata Rio. Pasti ia membaca SMS itu. Bodoh. Mengapa aku harus mem-forward SMS seperti itu.
Untuk mengalihkan perhatiannya dari SMS itu, aku berkata, “Kau tahu, aku berdarah dan kau tidak peduli.” Aku menunjukkan keningku padanya.
“Aku lihat,” katanya lembut lalu mengecup keningku yang lecet. “Aku minta maaf. Aku janji tak akan pernah meninggalkanmu, kecuali Tuhan yang memanggilku atau kau yang mengusirku.”
***
Aku mengajak mobilku menghitung beratus kilometer setiap akhir pekan. Bandung menjadi satu-satunya tempat tujuanku di waktu libur, bahkan di waktu senggang sekalipun. Cukup dengan tidak mengambil lembur kerja, aku bisa mengunjungi Bandung, menemui Eri.
Eri. Nama yang kembali hidup bersama nafasku. Aku merasa remaja kembali, mengalami cinta yang terlupakan. Indah kurasakan dalam hari-hariku. Eri mengajakku ke tempat-tempat kenangan kami. Kami membicarakan keindahan masa dulu kami dan bertekad untuk mengulangnya, menjadikannya terus terulang hingga “perpisahan dunia” yang menghentikannya.
“Benarkah kau ingin bersamaku?” tanyaku pada Eri.
Angin sepoi mengibaskan rambutku, merasuki hatiku, dan menyegarkan jiwaku. Daun-daun gugur, beterbangan, hingga sampai ke tanah. Di taman inilah, Eri menyatakan cintanya padaku sewaktu SMA dulu.
“Ya, tentu saja. Apa kau sungguh akan meninggalkannya dan menikah denganku?”
“Entahlah, tapi aku ingin bersamamu.”
“Kita tak bisa begini terus. Hampir setengah tahun, kita berjalan tanpa status. Aku tak suka melihatmu bersamanya, mendengar kehidupanmu bersamanya. Aku mencintaimu. Aku membutuhkanmu Apa kau tahu?”
“Aku tahu.”
“Apa kau takut dengan kariermu?”
“Sedikit.”
“Oh, ya. Kau tahu, sekarang suami Kak Sita membuka rumah sakit dan dua laboratorium baru.”
“Kak Sita?”
“Ya, kemarin Kak Sita berkata padaku kalau ia memerlukanmu untuk menjadi pengacara pribadinya, sekaligus pengacara perusahaan suaminya. Ia ingin kau bekerja padanya.”
Hand-phone-ku bunyi. Rio meneleponku.
“Halo.”
“Thea, kau di mana?”
“Di Bandung. Aku ada meeting dan…”
“Tundalah meeting-mu, nanti aku mintakan izin pada Bosmu. Ayahmu ditangkap polisi.”
***
“Pembunuhan?” tanyaku tidak percaya pada seorang polisi.
“Ya. Sekarang mayat wanita itu sedang kami otopsi.”
“Izinkan saya bertemu dia.”
Seorang polisi mengantarkanku ke suatu ruangan. Ayah sudah duduk di sana. Kedua tangannya diborgol. Nampak juga empat orang polisi berjaga pada dua pintu yang ada.
“Maumu apa sih? Kau pikir karena aku orang hukum, maka kau bisa sesukanya terhadap hukum, terhadap kekayaan orang lain, terhadap nyawa orang lain.” Aku tak bisa menahan diriku, langsung memaki Ayah.
“Ayah…”
“Orang sepertimu tidak pantas disebut Ayah! Kau kira aku senang menjadi anakmu?”
Ayahku diam. Rasa bersalah tergambar di wajahnya. Tapi, aku sangat marah. Kali ini kesabaranku telah habis. Aku kurang berbakti apa padanya. Setiap bulan, kusisihkan penghasilanku sebagai uang bulanan untuk Ayah. Semua kebutuhannya, mulai dari bahan makanan sampai dengan perabot rumah, aku belikan. Semua tagihan, mulai dari listrik, air, hingga telepon, aku bayarkan.
Aku kurang baik apalagi padanya. Setelah demikian buruknya perlakuannya padaku, aku masih menghormatinya, mengampuninya, bahkan mendoakannya. Aku masih merasa bertanggung jawab atas hidupnya. Aku harus bagaimana lagi menghadapi Ayahku yang bejat seperti ini.
“Aku…”
“Kau sungguh terlalu. Apa kau baru puas dan tidak menyiksaku apabila aku juga mati?”
“Maafkan, Ayah sungguh menyesal. Aku…”
“Simpan saja penyesalanmu. Aku tidak perlu. Aku bisa hidup sampai hari ini pun, bukan karena jasamu. Aku hanya berutang budi pada Nenek. Sisanya, pengorbananku sendiri.”
Kulihat tetes air mata di pipi Ayah. Namun hatiku terlanjur beku. Terlalu kecewa hingga aku menumpahkan makianku, “Kau buat aku tak punya Ibu, aku terima. Kau siksa Nenek dan aku tambah menderita, aku pun masih tabah. Kau buat aku dihina oleh keluarga Eri, ditinggalkan Eri, aku juga terima. Aku berjuang sendiri untuk cita-citaku dan kau menjadi narapidana, aku masih bersabar. Kau pukuli aku, menyakitiku, mengecewakanku, aku pun masih pasrah. Kau membuatku malu, membuatku harus menyerahkan jerih payahku di meja judi dan di tangan pacar-pacarmu, aku masih mendoakanmu. Kau buat aku menikahi Rio, melayaninya sebagai suamiku, dan membuang semua perasaanku terhadap Eri, aku juga masih memaafkanmu. Dan kini kau membunuh, membuat…”
Aku baru melihat Rio berdiri di sampingku. Sepasang kakiku terasa lemah. Mengapa aku harus memaki Ayah sambil melukai Rio?
***
Aku pura-pura tidur. Sementara Rio duduk di lantai, bersandar di tepi ranjang kami. Nampaknya Rio tahu aku hanya berpura-pura tidur.
“Thea, apa sampai saat ini kau masih terpaksa menjadi istriku?”
Aku tak menjawab. Tapi hatiku pedih mendengarnya bertanya demikian.
“Apa kau masih mencintainya?” Rio tetap memegang janjinya, tidak akan menyebut nama Eri di hadapanku.
Entahlah, kataku dalam hati.
“Apa kau tidak bisa merasakan bahwa aku sangat mencintaimu?”
Kesedihanku seperti hanyut bersama kepedihannya.
“Apa kau tidak merasakan bahwa aku sangat lama mencintaimu?”
Aku teringat kata-kata Eri. Bukankah Eri menyesal karena membiarkan Rio menjadi suamiku.
“Aku tak tahu betapa tebalnya perasaanmu hingga tak bisa merasakan itu. Aku senang saat kau memukul lenganku karena aku menghilangkan buku catatanmu. Aku suka mengikutimu pulang, duduk di seberang rumahmu, atau membeli jajanan kecil di kios Nenekmu. Sedikit pun aku tak ingin mengusikmu. Akhirnya aku bisa melihat, kehidupanmu tak seberuntung aku. Aku ingin menyadarkanmu kalau aku memperhatikanmu.”
Aku merasakan hangatnya kelopak mataku.
“Dengan alasan permintaan maafku untuk catatanmu yang hilang, aku menunjukkan bahwa aku mencintaimu. Aku senang karena kau menerima hadiah-hadiahku. Kubelikan kau makanan, yang mungkin tidak dapat kau beli saat itu. Aku membelikan kau banyak buku, karena kau seorang yang pandai. Pasti kau menyukai buku bacaan. Ternyata kau tetap tak bisa membaca perilakuku. Kau malah memilihnya, menjadi kekasihmu.”
Air yang menghangatkan kelopak mataku, mulai menetes.
“Tapi dengan demikian, setidaknya aku tahu bahwa hatimu bukan untukku. Aku tak lagi menampakkan diriku di hadapanmu. Aku percaya, ia akan menyayangimu dan melindungimu. Kadang aku suka mengikuti kalian. Melihat kalian begitu akrab, hatiku sangat pedih. Hingga suatu hari, aku dengar hubungan kalian berakhir. Kau sungguh sebatang kara, karena kudengar Nenekmu sudah tiada dan kutahu Ayahmu bukan seorang Ayah yang baik.”
Hatiku makin pedih. Aku sadar, aku sangat bersalah pada Rio.
“Setelah kau melemparkan uangku, aku mengerti kau sangat tinggi menilai dirimu. Setelah lulus, aku bekerja di Bandung, di sebuah lembaga bimbingan belajar. Aku punya banyak waktu luang sehingga aku bisa menjagamu. Aku sedih ketika melihatmu harus memberi les anak-anak SD. Kau kehujanan, kepanasan, naik kendaraan umum, berlari-lari ke kampus. Aku ingin menolongmu, tapi aku tak berani memberikanmu apapun karena aku takut kau muak padaku.”
Oh, Rio. Sampai begitukah kau memperhatikanku?
“Menjelang kau lulus, aku minta Papa merekomendasikanmu pada sahabatnya, seorang pengacara di Jakarta, kota kelahiranku. Aku yakin, kau tak akan mempermalukan Papa karena kau sangat berbakat. Kemudian kau diterima bekerja di sana. Aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan bekerja di perusahaan Papa.”
Rio, kau tak pantas membuatku seberuntung itu. Apa hal ini yang menunjukkan bahwa tidak ada kebetulan di dunia ini? Apa benar di dunia hanya ada kesempatan, pilihan, dan komitmen pada apa yang kita pilih?
“Lalu aku melihat tempat kosmu terlalu kumuh, terlalu jauh dari kantormu. Kau harus berlari-lari mengejar metromini, menjaga tasmu hati-hati, hingga make up-mu harus luntur sebelum kau tiba di kantor. Lalu, aku meminta bantuan Papa. Papa mentransfer sedikit uang kepada sahabatnya. Kau dinyatakan naik gaji dan dapat bonus untuk mengambil kredit rumah. Kau bisa menaikkan taraf hidupmu, bisa mencicil mobil, sekalipun mobil yang ketinggalan zaman, dan mungkin juga menabung. Aku tenang, hidupmu lebih aman. Ketika kau menjemput Ayah di Cipinang, aku baru tahu, menghilangnya Ayah karena ia dipenjara.”
Ayahku sungguh berbeda dengan Papa Rio. Rio sangat beruntung, tapi aku lebih beruntung karena Rio membagi keberuntungannya denganku.
“Ketika karierku sudah maju, Papa menyerahkan usahanya padaku dan Riko. Papa membagi dua hartanya dan mengambil pensiun. Aku memilih Bosmu, sebagai pengacara perusahaanku. Aku sungguh ingin mengungkapkan perasaanku padamu. Perasaan yang tetap kujaga lebih dari sepuluh tahun. Hingga hari itu, aku tak bisa menahan perasaanku. Aku ingin menghentikan badai dan penderitaan dalam hidupmu. Tak peduli hal apa yang terjadi, bagaimana tanggapanmu padaku. Aku ingin menikahimu, membawamu ke dalam kehidupanku, dan melindungimu.”
Rio, aku tak pantas menerima kebaikanmu. Aku terlalu jahat padamu.
“Tapi, aku gagal. Thea, kau bisa bersamanya lagi. Aku akan membagi dua hartaku denganmu. Aku rela kita berpisah, asal kau bahagia dan ia menerimamu apa adanya.”
Bantalku basah. Air mataku terlalu deras. Mungkin Rio mendengar isak tangisku.
”Thea, maafkan aku karena menyakitimu seperti Ayahmu.”
Itu salahku, Rio… Aku yang salah.
“Maafkan aku juga karena melanggar janjiku, membuatmu melakukan apa yang tidak kau suka. Kalau aku bisa mengembalikan waktu itu itu, aku sungguh tak akan melakukannya.”
Kemudian kudengar langkah kaki Rio semakin menjauhiku.
***
“Maafkan aku, Eri. Aku sudah membuat komitmen, kita tidak bisa bersama lagi.”
“Maksudmu?”
“Aku tidak mau meninggalkan Rio atau berpisah dengannya.”
“Apa kau bukan Thea yang dulu lagi? Apa sekarang kau materialistis dan...”
“Aku memang bukan Thea yang dulu, tapi bukan karena kekayaan Rio.”
“Lantas?”
“Tanpa sadar, aku telah jatuh cinta pada Rio. Aku bisa hidup tanpamu, tapi tidak tanpa Rio.”
“Kau sungguh…”
“Maafkan aku…Aku sudah menentukan pilihanku dan akan sepenuh hati menjalankan apa yang telah kupilih. Semoga kau menemukan perempuan yang mencintaimu, lebih daripadaku mencintaimu dan berbahagia bersamanya.”
Aku menutup gagang telepon. Aku hanya memikirkan Rio. Kemudian aku menekan nomor hand-phone Rio. Telepon tersambung bersamaan dengan terdengarnya suara polyphonic hand-phone Rio. Aku membalikkan tubuhku dan meletakkan gagang telepon kembali. Entah sejak kapan Rio berdiri di ambang pintu kamar. Bening kulihat di mata Rio.
“Apa benar yang baru kudengar?”
Aku mengangguk, lalu berkata, ”Rio, aku memikirkanmu semalam. Tapi tak berani meneleponmu. Kau...”
“Seperti biasa, tidur di mobil. Untung kemarin malam minggu. Jadi Mc D buka dua puluh empat jam.”
Aku hening.
“Tadi pagi aku menemui Ayah. Ayah sungguh meminta maaf padamu. Ayah tak sengaja membunuh wanita itu. Mantan suami wanita itu datang sambil membawa pisau, hendak membunuh Ayah. Dalam perkelahian mereka, tanpa sengaja Ayah menusuk wanita itu, karena wanita itu terus menghalangi dan memisahkan mereka.”
”Sudahlah, aku sudah memaafkan Ayah. Apa nanti kau mau menemaniku menemui Ayah?”
Rio mengangguk.
”Rio, maaf, selama ini aku jahat padamu.”
“Tak apa.”
“Aku juga bohong padamu sejak…”
“Aku tahu,” jawabnya. “Harusnya kau tahu, sopir zaman sekarang sudah punya hp.”
“Aku…”
“Aku sangat cemburu waktu itu.”
Aku memeluk Rio dengan erat.
“Rio, aku pikir kali ini kau akan benar-benar meninggalkanku.”
”Jangan pernah berpikir begitu. Selama aku masih hidup dan kau belum mengusirku, aku tak akan meninggalkanmu.”
S E L E S A I
