Selasa, 27 Mei 2008

KEKASIH HATI

Aku meragukan penglihatanku dan berdiri terpaku. Detik seperti tidak bergerak.

“Pak Bastian, maaf membuat Saudara lama menunggu,” kata Ibu Aneta, salah satu Senior Partner CS Law, firma hukum tempatku bekerja, sambil mengulurkan tangan kepada laki-laki yang pernah mengisi masa laluku itu.

“Ah, tidak mengapa, Bu,” sahut Bastian dengan senyumnya yang ramah, sambil membalas uluran tangan Ibu Aneta. “Saya juga baru datang.”

“Jakarta di hari kerja. Macet,” sambung Ibu Aneta sambil tersenyum. “Bagaimana kabar Pak Sammi?”

“Baik. Terima kasih,” sahut Bastian tanpa melepaskan pandangannya dariku.

“Mengapa berdiri dan bengong di situ?” tanya Ibu Aneta padaku dengan nada sinis.

Aku baru saja dari toilet, jawabku dalam hati. Ketika kembali dari toilet, mana kusangka Bastian sudah duduk di sofa situ.

Ibu Aneta mempersilakan Bastian masuk ke salah satu ruang meeting. Sebelum menutup pintu ruang meeting, Ibu Aneta berkata padaku, “Tolong kaupanggil Reza. Suruh ke ruang meeting ini sekarang”.

Kulangkahkan kakiku, masuk ke ruangan kerja para associate untuk memanggil salah satu rekan kerjaku, Reza. Reza sudah pergi ke ruangan meeting. Masing-masing associate, termasuk aku juga, sedang kejar deadline pekerjaan. Namun bagiku, pertemuan dengan Bastian itu sudah mengacaukan segalanya. Beribu kali aku menyatukan konsentrasi dan memfokuskan pikiran pada pekerjaan, tetapi beribu kali itu juga aku gagal.

Di hadapan screen komputer, konsentrasiku terpencar dan pikiranku melayang-layang. Hanya sepasang mata itu, wajah itu, laki-laki itu, intinya Bastian itu, yang terus-menerus membayang dalam benakku. Pikiranku terus tertuju padanya. Wajahnya masih tetap sama seperti dulu, seperti pada waktu ia meninggalkanku, lima tahun yang lalu. Tidak ada perubahan yang terlalu berarti dengan penampilannya di usianya yang sudah berkepala tiga itu. Hhh…entah mengapa ia tetap menarik hatiku dan aku ingin memilikinya lagi! Aku ingin mengulang masa-masa indahku bersamanya dan mengharap ia mengisi lembar-lembar hariku lagi.

Pukul sebelas siang. Berarti pertemuan dengan Bastian itu sudah berlalu sekitar satu jam. Bagaimana aku bisa menyelesaikan draft kontrak ini, aku mulai mengeluh. Oh, otakku, tolong bekerjasamalah denganku! Tolong pikirkan klausul apa yang harus aku kemukakan di dalam draft kontrak ini! Tolong usir perasaan itu! Bukankah seharusnya rasa itu telah pergi dan berlalu? Oh, konsentrasi, tak lupa kesibukan, tolong kalian singkirkan ingatan itu!

“Lea!”

Aku terkesiap.

“Lea, kau kenapa sih? Mulutku sudah berbusa nih memanggilmu.”

Aku mengucek-ngucek mata.

“Dipanggil Ibu Aneta, tuh!” sambung Reza. “Ditunggu di ruang kerjanya.”

***

“Duduklah! Aku mau bicara sebentar denganmu.”

Aku mendudukkan tubuhku di kursi tepat di hadapan Ibu Aneta. Hanya meja kerja Ibu Aneta yang menjadi penghalang kami. Seribu bahasa tak terucap dari bibirku, namun tidak demikian dengan pikiranku. Seribu pertanyaan terbit dalam benakku. Degup jantungku terasa begitu cepat, padahal aku tidak sedang me-review pekerjaan ataupun beradu argumentasi dengannya.

“Mertua Bastian adalah seorang investor lokal pada perusahaan-perusahaan asing. Namanya Sammi. Ia bukan klien firma hukum ini, tetapi aku mengenalnya baik, karena ia adalah partner usaha kakakku dan mereka berteman baik sejak mereka masih berkuliah dulu,” celoteh Ibu Aneta. “ Lalu apa kau mengenal Bastian?”

Kutundukkan kepalaku rendah-rendah, terlalu takut untuk memandang Ibu Aneta. Segera hatiku tawar, pikiranku mendadak linglung. Rasanya seperti terhukum saja. Ada apa ini? tanyaku di hati. Apa yang telah dikatakan Bastian pada Ibu Aneta?

“Seberapa jauh kau mengenalnya?” tanya Ibu Aneta lagi, seolah ia sudah menemukan jawaban dari sikapku.

Seberapa jauh? Perlukah pertanyaan seperti itu dijawab? Perasaanku makin galau, pikiranku kacau. Hatiku makin gemetar, dingin terasa di sekujur tubuhku, hingga aku terbata-bata menyahut, “Saya… Sebenarnya saya…”

“Baiklah, jika sulit mengatakannya, kau tak usah menjawabnya,” potong Ibu Aneta. “Saat ini nama Bastian sudah masuk dalam daftar investor unggulan di Indonesia. Memang perilaku Bastian di pasar modal belum sejeli Sammi, tetapi ia memiliki potensi itu. Barusan ia datang untuk membicarakan rencana pengakuisisian sebuah perusahaan publik. Seperti biasa proyek yang berhubungan dengan capital market diserahkan pada Reza, yang memang expert dalam bidang ini.”

Aku mengerutkan dahi. Untuk apa Ibu Aneta bercerita panjang-lebar begini, mulai dari karier Bastian hingga keahlian Reza? Memang baru detik sekarang ini, aku tahu bahwa Bastian adalah seorang investor, unggulan pula. Jujur, aku kaget dengan penuturan Ibu Aneta itu. Namun mengenai Reza, justru aku jadi bingung. Siapa saja di firma hukum ini juga tahu, kalau proyek capital market selalu diserahkan pada Reza karena ia adalah associate khusus yang expert di bidang pasar modal.

“Proyek Bastian memang proyek besar dan ia berjanji untuk menjadi klien tetap firma hukum ini, asalkan kau yang menjadi team leader proyeknya ini.”

“Saya?” aku membelalakkan mata.

“Ya, kau,” jawab Ibu Aneta tegas.

Kutahan nafasku. Panas kurasakan di wajah.

“Aku bukan tidak memberikan kesempatan padamu atau membeda-bedakan perlakuan terhadap para associate. Hanya saja untuk urusan profesi, aku ini orang yang fokus, terlalu tegas dengan garis tugas dan kewenangan. Itu prinsipku,” sambung Ibu Aneta. “Pemikiranku, setiap associate punya kapasitas dan kekuatan untuk suatu bidang. Jika kapasitasnya itu terus-menerus dipadukan dengan kekuatan yang dimilikinya, maka ia akan semakin expert dalam bidang tersebut.”

Aku menunduk. Panas mulai terasa menyebar di seluruh tubuhku.

“Siapapun di firma hukum ini, bahkan aku sekalipun mengakui kekuatanmu dalam perancangan kontrak. Dengan alasan itulah, maka kau diposisikan sebagai associate khusus untuk bidang itu. Terus terang kukatakan padamu, di satu sisi aku memang menginginkan proyek ini. Pengacara mana sih yang tidak mau mendapat proyek dengan honorarium yang besar. Namun di sisi lain, aku tetap ingin idealisme senantiasa melandasi profesiku. Dengan memberikan proyek ini padamu plus menjadikanmu sebagai team leader-nya, dapat kaubayangkan bagaimana penilaian para associate di sini padaku dan juga padamu.”

“Bu, tadi itu benar-benar pertama kalinya saya bertemu dengan Bastian. Eh, maaf… maksud saya Pak Bastian. Terakhir kalinya saya bertemu dengannya itu, waktu saya masih kuliah dulu,” tiba-tiba aku mengangkat wajahku dan memberikan penjelasan bodoh, untuk sesuatu yang sudah tidak dipertanyakan lagi oleh Ibu Aneta. “Sungguh semuanya tidak sengaja, saya tidak merencanakan apapun juga, dan...”

“Siapa dia bagimu, aku tidak keberatan,” potong Ibu Aneta. “Berapa juta kali pun kalian bertemu, aku juga tidak mengambil pusing. Yang aku inginkan, hanya profesionalitas. Pengacara tanpa profesionalitas adalah ketiadaan etika. Karena hal ini adalah urusan pekerjaan yang kurang sopan jika dibicarakan melalui telepon atau e-mail, maka ada baiknya setelah makan siang, kau menemui Bastian di kantornya. Bicaralah dengannya,” kata Ibu Aneta seraya bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu ruangannya. “Semoga ia mengerti, tapi jangan kaupaksa ia untuk sepakat dengan prinsipku. Tak apa aku kehilangan proyek ini, asalkan aku tidak kehilangan idealismeku.”

“Tapi, Bu…”

“Dan aku juga tidak memaksamu untuk berprinsip sama denganku,” sambung Ibu Aneta sebelum menutup pintu ruangannya.

Aku lemas. Kutarik udara banyak-banyak. Apakah ini kenyataan? Pasti ia menganggapku rendah banget. Pasti pikir Ibu Aneta sekarang, aku sedang bersandiwara, serakah, dan menginginkan proyek rekan kerjaku, hingga berusaha merampas proyek itu dari rekan sekerjaku. Atau jangan-jangan ia sudah tahu kalau Bastian adalah seseorang yang khusus dalam hidupku! Bagaimana ini? Aku merasa putus asa. Ketika aku hendak menelungkupkan kepalaku ke atas meja, aku melihat sebuah kartu nama dengan nama itu, Putra Sebastian.

***

“Apa maksudmu? Pasti tadi kau mengatakan hal yang tidak-tidak tentangku pada Ibu Aneta,” semprotku tanpa basa-basi. “Hingga ia menginterogasiku, sampai-sampai aku harus datang ke kantormu seperti ini.”

Bastian menganggukkan kepala, memberi aba-aba kepada sekretarisnya untuk meninggalkan ruang kerjanya. Segera sekretarisnya itu melangkah keluar dan menutup pintu. Bastian menatapku lurus sambil mengucek-ngucek rambutnya. Ia masih duduk bersandar di kursi kerjanya.

“Pura-pura tidak tahu?”

“Kecuali mengatakan bahwa aku menginginkanmu menjadi team leader untuk proyekku, tidak ada kata-kata lain lagi yang kukatakan pada Ibu Aneta.”

“Kauyakin hanya mengatakan itu?”

Bastian mengangguk. “Mengapa? Memangnya dilarang?”

“Tidak, memilih dan menentukan associate adalah tindakan yang sah-sah saja. Itu memang hak klien. Ibu Aneta, aku, dan seluruh penghuni CS Law punya hak untuk menolaknya, jika permintaan klien tidak sejalan dengan norma.”

“Lantas apa masalahnya jika demikian?”

“Bagi Ibu Aneta tidak ada masalah apapun. Sekalipun kau tidak menjadi klien CS Law, CS Law masih punya ratusan klien lain yang tidak kalah hebatnya darimu,” sejenak aku diam. Bastian memandang wajahku lekat-lekat. “Kenapa melihatku seperti itu?”

“Jika tadi pagi sorot matamu begitu menghangatkan, mengapa sekarang tidak, ya?”

Heh! Kau sangat menyebalkan. Gara-gara kau, maka sekarang aku jadi tidak enak hati dengan Ibu Aneta dan ia pasti kehilangan rasa simpatiknya padaku. Aku yakin, pasti kini pandangannya terhadapku sangat buruk. Pokoknya aku kehilangan harga diri di hadapannya,” tuturku lantang. “Gara-gara kelakuanmu juga, akhirnya pekerjaanku terganggu dan bahkan karierku kini terancam. Apa kau tidak tahu bahwa aku sangat mencintai pekerjaanku? Kau sungguh rese dan semua ini gara-gara kau!”

“Katamu sendiri, memilih dan menentukan associate adalah hak klien dan kaupunya hak tolak. Lantas mengapa gara-gara aku?” sahut Bastian sambil bangkit berdiri dari kursinya.

“Belaga bodoh?

Bastian mencibir sambil menggelengkan kepala.

“Kujelaskan padamu. Jika kau mau menjadi klien CS Law untuk urusan proyek capital market, maka proyek dipegang oleh Ibu Aneta sepaket dengan Reza sebagai team leader-nya. Jika kau tidak suka, memberi pilihan yang sok jago, atau malah mengganggu pekerjaanku, intinya rese, maka lebih baik kaucari lagi firma hukum lain.”

“Ternyata kau galak sekali. Kuberitahu, jika semua associate CS Law sepertimu, kupastikan firma hukum itu tidak akan laku.”

“Kuberitahu juga padamu, jika semua klien CS Law rese dan sok jago sepertimu, kupastikan semua associate CS Law akan resign.”

“Kau memang masih tetap sama seperti dulu, Na,” kata Bastian sambil terpingkal-pingkal. “Selain tetap cantik, sifatmu masih keras, tak mau kalah, dan sedikit egois.”

Aku tidak menimpali pernyataan Bastian. Malas. Lagipula aku bukan tipe orang yang suka memelas. Lebih baik aku menyiksa hati, daripada aku harus mengungkapkan isi hati dan mengeluarkan keluh-kesahku. Jadi segera kupalingkan wajahku dari Bastian dan beranjak pergi. Bukankah Ibu Aneta tidak menuntutku untuk meraih proyek Bastian ini untuknya? Cukup bagiku membuat report untuk Ibu Aneta, bahwa aku sudah menyampaikan dan menjelaskan semua yang berkaitan dengan proyek ini kepada Bastian, akan tetapi Bastian keras kepala dan tidak mau menerima penjelasanku. Mudah kan? Yang terpenting bagi Ibu Aneta, ia tidak kehilangan idealismenya dalam menjalankan profesinya dan aku sudah menjaga prinsipnya itu. Ya sudah, toh tidak ada apa-apa lagi yang perlu kuperjuangkan.

“Marina,” panggil Bastian sambil menyentuh lenganku. “Jangan pergi!”

“Untuk apa lagi?” tanyaku dingin.

“Untuk menjelaskan. Semuanya hanya akal-akalan-ku saja.”

“Maksudmu?”

“Aku tahu kredibilitas Ibu Aneta dan CS Law untuk urusan capital market. Ibu Aneta sangat profesional dan pemberian jasa CS Law di bidang capital market terkenal sangatlah maksimal,” kata Bastian sambil menjauhkan tangannya dari lenganku. “Sebenarnya apapun yang diatur dan ditentukan Ibu Aneta untuk proyekku, sepenuhnya aku sepakat. Aku percaya padanya.”

“Lantas mengapa membuat permintaan aneh? Mengapa rese?” semprotku. “Hingga harus mengungkapkan pilihan yang berkesan sombong?”

“Kau hebat, Na. Aku tak menyangka sekarang ini kau adalah salah seorang senior associate CS Law,” kata Bastian sambil tersenyum. “Aku minta maaf, Na. Sebenarnya, aku hanya ingin bertemu denganmu lagi.”

Hah? Aku terkejut dengan jawaban Bastian. Hanya karena ingin bertemu denganku lagi? Apakah itu tidak berlebihan? Jujur dari lubuk hatiku, aku juga ingin bertemu lagi dengan Bastian, malah aku ingin memilikinya kembali. Hanya saja, sangat tidak mungkin bagiku untuk mempertaruhkan pekerjaanku, karierku, atau nama baikku, untuk main-main dan bercanda atau untuk sesuatu hal yang namanya “ingin bertemu lagi”.

“Aku menahan diri untuk tidak bertanya tentangmu kepada salah satu rekan sekerjamu. Aku tak ingin gara-gara pertanyaanku, kau jadi bahan gossip di tempat kerjamu.”

Aku menundukkan kepala. Betapa Bastian sangat mengerti siapa aku. Aku adalah seseorang yang sangat mementingkan gengsi. Aku selalu ingin dinilai orang sebagai orang hebat dan wanita yang sempurna, tanpa celah ataupun cacat. Hanya saja, hatiku masih dongkol. Mengapa Bastian harus melibatkan Ibu Aneta dalam urusan “ingin bertemu lagi” ini? Mengapa harus Ibu Aneta yang sinis, idealis, dan super serius itu?

“Jika kau tidak termasuk dalam team associate yang mengerjakan proyekku, alasan apa yang masuk akal untuk kumajukan pada Ibu Aneta demi mengulang pertemuan kita lagi? Tetapi aku merasa bahwa Ibu Aneta orang yang sekuler. Ia bisa memisahkan persoalan pekerjaan dan urusan pribadi. Jadi kupikir ia tidak akan mengusik kehidupan pribadimu, sekalipun ia menaruh curiga karena sikapku itu,” sambung Bastian seolah ia mendengar pertanyaan yang kuajukan di dalam hati. “Maaf, pikiranku begitu sempit dan hanya sepanjang rambutku saja. Namun sungguh dalam benakku tadi, aku tidak menemukan cara lain lagi. Jadi, selepas Reza meninggalkan ruang meeting, segera kuajukan pilihan itu pada Ibu Aneta. Aku takut, jika kesempatan itu berlalu, kau akan menghindar dariku dan menghilang lagi.”

“Kau bodoh, Bas.”

“Aku tahu, Na. Justru karena aku bodoh, maka dulu aku melepaskanmu, hingga membuatmu terluka. Setelah benar-benar kehilanganmu, aku baru menyadari bahwa hidup tanpamu sungguh menyiksa, tetapi semuanya sudah terlambat. Pada akhirnya, aku hanya bisa menyesal dan merasa malang. Setiap hari, aku hanya menghibur diri dengan bekerja. Demikianlah caraku menghabiskan waktu.”

Mungkin aku juga demikian, berlindung di balik topeng pekerjaan hanya untuk menyimpan ketidakrelaan dan rasa kecewa. Bekerja dengan ambisi, melalui waktu hanya untuk menghapuskan kenangan dari cinta yang mustahil. Dalam kekosongan harapan, aku masih meruangkan hati untuk suatu penantian. Sekalipun semua derita yang kualami itu membuat bekas luka yang dalam, anehnya aku tetap bertahan untuk perasaan sakit itu dan merasa sayang jika melupakan cinta yang pernah kualami bersamamu di masa yang lalu. Hhh… Kau mungkin bodoh, tapi aku juga tak kalah bodoh denganmu, Bas. Soal kebodohan, perbedaan kita hanya satu. Aku pantang mengakui hal itu, sementara kau tidak demikian.

“Na, apa yang kaupikirkan?”

“Tak ada. Aku mau kembali ke tempat kerjaku.”

“Aku antar, ya.”

“Tak usah, Bas. Aku berangkat kemari dengan mobil dinas.”

“Baiklah jika demikian. Selepas mengantarmu hingga di pintu mobil dinasmu, segera kutelepon Ibu Aneta untuk make a deal dengannya dan menjelaskan semuanya. Kujamin pandangannya padamu akan kembali seperti sediakala. Aku tutup mata soal proses ataupun siapa team leader-nya, pokoknya aku terima beres proyek ini dan tinggal tanda tangan saja. Hari ini kau pulang jam berapa?”

“Tak tahu. Jam kerja firma hukum tidak tentu.”

“Tak apa, tolong kabari aku saja setengah jam sebelum kau pulang nanti,” sahut Bastian sambil mengecup sebelah pipiku. “Aku jemput, ya!”

Kurasakan hangat pada wajahku, pasti semburat warna merah merona di sana. Tiada keluar sepatah katapun dari bibirku. Namun aku yakin bahwa Bastian pasti mengerti dengan sikapku. Ia tahu bahwa aku akan menghubunginya kembali dan membiarkannya menjemputku sepulang kerja nanti.

Marina Azalea… suatu suara mendesis di hatiku. Apa yang kau pikirkan? Cinta, gengsi, kebodohan, keinginan, kesempatan, atau kerinduan? Apa yang kau sesalkan? Pekerjaan, laki‑laki, kesepian, penantian, atau harapan? Apa yang kaucari? Kehidupan, karier, kesempurnaan, atau kehebatan? Lantas apa yang kau dapatkan? Kepuasan, ketegaran, kecewa, kelimpahan, pujian, atau penghargaan?

***

Alarm-ku berbunyi. Aku masih berbaring. Kantuk masih terasa pada kedua mataku.

“Bas,” panggilku dengan suara yang masih serak.

Hanya bunyi alarm yang menanggapi suaraku. Aku menegakkan badan di atas ranjang dan memanjangkan lengan kananku untuk mematikan alarm pada hand phone‑ku. Perlahan kubuka kedua kelopak mataku dan menolehkan kepala ke samping.

Ke mana Bastian? Mengapa ia tidak sedang berbaring di sana?

Tidak seperti pagi di hari-hariku yang lalu, pagi ini sekuntum mawar putih menyambutku. Di atas permukaan satu bantal, kulihat sekuntum mawar putih tergeletak di sana. Aku memanjangkan tangan. Kusentuhkan jemari tanganku pada tangkai bunga itu, tak ada duri satupun yang menancap tajam di situ. Kubaca sepotong pesan yang tertulis pada kertas mungil yang dilekatkan pada tangkai bunga itu.

Pagi, Marina. Selamat memulai aktivitas di hari ini. Hatiku menyertaimu dan semoga mawarku menyampaikan betapa cintaku padamu. Maaf, meninggalkanmu sendirian, aku tak tega membangunkanmu yang tidur begitu pulas. Aku pergi ke Singapura, ada ramah-tamah dengan investor asing di sana. Setelah kembali ke Jakarta, aku pasti menghubungimu. Aku ingin melewatkan setiap hariku bersamamu, melalui setiap malamku hanya berdua denganmu.

Hangat terasa merasuk pada sekujur tubuhku. Selamat pagi mawar putih, gumamku sambil membiarkan bunga itu memamerkan mahkotanya yang merekah. Bastian, akhirnya kita bertemu lagi. Pada akhirnya, kita bersatu lagi. Setelah masa-masa itu kulalui seorang diri, setelah kenangan-kenangan itu kubiarkan tenggelam, setelah pikiran-pikiran itu hanyut dimakan waktu, dan setelah perasaan-perasaan itu terkubur dalam, bahkan mungkin telah usang dimakan onggokan kecewa. Kini kau datang lagi. Selamat datang cinta lama, biarkan aku mengulang keindahan yang lalu. Selamat datang Bastian. Semoga kau datang untuk berlabuh dan menetap bersamaku.

***

“Maaf, boleh aku duduk di sini? Sebentar saja.”

Aku terkesiap, seolah melihat penampakan hantu.

“Semua tempat duduk di sini penuh diduduki pengunjung. Jadi aku…”

“Silakan, duduk saja!” potongku seraya menyunggingkan bibir sedikit. “Lagipula ini bukan tempat privat kok, jadi lama pun tidak mengapa. Hanya saja aku merokok,” sambungku sambil mengacungkan jemari tanganku yang menjepit rokok.

“Tak apa kok,” sahut wanita itu sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa. Tepat di hadapanku, wanita itu duduk.

Seorang waiter mendatangi meja dan menyodorkan buku menu cafe. Beberapa detik, wanita itu membolak-balik buku itu, lalu pintanya, “Triple ice cream saja.”

“Ingin rasa apa?” tanya waiter café.

Green tea, strawberry, dan chocolate chip. Aku minta coklat cair di topping-nya.”

Aku tetap menikmati rokokku, menganggap wanita itu tidak ada. Namun wanita yang duduk di hadapanku ini malah memperhatikanku, membuat perasaanku menjadi tak nyaman. Apakah ia seorang lesbian? Aku mulai berpikir negatif.

“Ada yang salah dengan penampilanku?” tanyaku tak ramah.

“Tidak,” kata wanita itu sambil tersenyum. “Aku hanya melihat kau begitu cantik.”

Apa maksudnya? Apa ia benar-benar seorang lesbian?

Waiter yang sama mengantarkan pesanan ice cream wanita itu. Setelah mempersilakannya menikmati ice cream, waiter itu meninggalkan meja. Live music mulai membahana, memenuhi ruang cafe. Ia menikmati ice cream. Sementara aku asyik dengan rokok dan lemon squash-ku. Pikiranku tetap terbang, seolah lepas dari tubuhku, membayangkan Bastian dan kegusaran itu, mengapa Bastian tidak meneleponku, padahal katanya ia pasti menghubungiku setelah ia kembali ke Jakarta. Dasar pembohong! Namun demikian, aku sih pantang untuk menghubunginya lebih dulu. Gengsiku cukup besar untuk mencarinya terlebih dulu.

Di sela pikiranku yang melayang, aku masih sempat memperhatikan wanita yang nampak sepantar usianya denganku itu. Dandanannya modis, tetapi tak menghilangkan kesan anggun. Pesona menawan dalam balutan busana yang dikenakannya cukup sempurna untuk menunjukkan dari mana asal wanita itu. Dapat kupastikan ia golongan wanita high class yang hidup dengan segala kelimpahan. Hhh… tapi mengapa ia menangis?

Kayanya rasa ice cream-mu asin,” kataku asal sambil menyodorkan dua lembar tissue padanya.

“Terima kasih,” katanya sambil menerima tissue dariku. Segera disusutnya air mata yang bercucuran di pipinya.

Kupandang wanita itu lebih lekat lagi. Nampak ia menyimpan segudang resah dan memanggul beribu kilogram duka. Sedetik sepotong belas kasihan terbit di hatiku.

“Jika tidak terbiasa berpergian sendiri, maka jangan pergi ke tempat umum seorang diri,” kataku kemudian. “Karena situasi keumuman itu, akan membuat dirimu semakin terlihat malang.”

Wanita itu menarik nafas dari hidungnya yang mendat. “Kau terlihat sangat berbeda dari wanita pada umumnya,” komentarnya seolah ia tak merespon kata-kataku. “Kutebak, dari gayamu, kau pasti seorang wanita karier yang punya sejuta kesibukan dan rutinitas.”

“Sudah jam sebelas malam,” kataku sambil menyunggingkan bibir sedikit. “Aku pamit pulang terlebih dulu.”

“Baiklah. Biar aku yang membayar minumanmu.”

“Jangan, masa...”

“Jangan sungkan. Entah mengapa perasaanku mengatakan bahwa kita sudah lama kenal. Bertemu denganmu, rasanya seperti bertemu dengan teman lama.”

Wanita yang aneh. Lama kenal? Siapa yang kenal? Teman lama? Teman lama dari mana? Jangan-jangan ia benar-benar seorang lesbian.

“Hanya satu gelas lemon squash saja kan? Tolong terimalah traktiranku.”

“Baiklah jika demikian,” aku ingin cepat-cepat berlalu dari hadapan wanita aneh ini. “Kalau kita bertemu lagi, aku yang bayar pesananmu,” sambungku berbasa-basi.

Wanita itu mengangguk sambil tersenyum.

Aku bangkit dari sofa.

“Kita melupakan sesuatu,” kata wanita itu seraya berdiri, kemudian mengulurkan tangannya padaku. “Namamu?”

“Lea,” sahutku sambil menyambut dingin uluran tangan wanita itu.

“Aku Lisa.”

“Baiklah Lisa,” sahutku. “Aku pamit pulang dulu.”

“Terima kasih untuk obrolan yang indah ini,“ timpalnya sambil tersenyum. “Jika boleh aku memberi saran padamu, jangan merokok lagi, ya.”

Hah? Wanita aneh ini adalah orang pertama yang memberi saran padaku untuk jangan merokok. Modis-modis kok kampungan ya? Seperti tidak bisa mengikuti zaman.

“Merokok tidak baik untuk kesehatan.”

“Terdengar seperti iklan saja. Aku juga hanya merokok jika sedang kecewa saja,” kataku berbohong. “Merokok mencegah orang untuk menangis,” sindirku.

“Jika sedang kecewa, makanlah ice cream. Walaupun kau menangis hingga rasa ice cream-mu berubah menjadi asin, ice cream lebih baik untuk kesehatan daripada rokok.”

“Baiklah. Senang berkenalan denganmu,” kataku ringan. Sindiranku untuknya ternyata tidak mempan.

“Terima kasih. Sampai jumpa lagi, Lea. Senang bertemu denganmu.”

***

“Bas? Mengapa kau tidur di sini?”

Bastian mengucek-ngucek kedua matanya. Segera ia menegakkan badan dan bersandar pada bingkai pintu apartemenku.

“Hampir jam dua belas,” kata Bastian sambil melihat jam tangannya. “Kau dari mana?”

“Dari café.”

“Kukira kau sedang deadline pekerjaan, jadi harus overtime.”

“Kupikir justru kau sudah melupakanku,” semprotku. “Bahkan aku hampir meyakini bahwa ucapan selamat pagimu itu hanya omong kosong.”

“Aneh-aneh saja pikiranmu, Na.”

“Setelah berjanji untuk menghubungiku sepulang dari Singapura, seharian ini kau malah tidak mencariku,” sahutku sambil mempertemukan satu anak kunci pada suatu celah kecil di pintu apartemen. “Aku kesal padamu.”

“Nomormu kusimpan di phone book hand phone pribadiku. Jujur, aku belum hafal nomormu dan hand phone-ku itu tertinggal di dalam kamarmu.”

Aku tidak menyahut apa-apa, walaupun sebenarnya hatiku sungguh gusar karena menahan perasaan.

Jika begitu, mengapa tidak kau saja yang terlebih dulu menghubungi Bastian? tanya suatu suara dalam hatiku. Tidak! sahutku segera. Gengsiku lebih penting. Biar saja, lebih baik menahan hati.

Setelah pintu apartemen menganga, kutempelkan telapak tanganku pada dinding di balik pintu apartemen, menekan sebuah saklar. Segera seberkas cahaya memenuhi sebagian ruang apartemen. Aku melepas sepatu, membiarkan tas kerjaku tergeletak begitu saja di lantai, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Aku terbiasa langsung membasuh kedua tanganku begitu sampai di tempat tinggalku.

Aku keluar dari kamar mandi, berdiri di ambang pintu kamar mandi. Kulihat pintu apartemen sudah tertutup. Tampak olehku Bastian menjinjing tas kerjaku dan menghentikan langkahnya di sebelah meja kaca, yang mendampingi sofa di tempat santaiku bersama televisi dan peralatan elektronik lainnya. Diletakkannya tas kerjaku di atas meja kaca itu, di samping sekuntum mawar putih yang tentu saja masih dikenalnya. Ia mengangkat bunga itu sejajar dengan wajahnya. Lalu tanyanya, “Mawar putih, aku mencintai Marina. Apa ia masih menginginkanku?”

Aku masih berdiri mematung di ambang pintu kamar mandi, tetapi Bastian belum menyadari keberadaanku di sana. Ia tetap asyik memperhatikan kelopak putih dari mawar itu. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Kususut bias-bias kaca yang menghalangi penglihatanku.

“Mengapa ke apartemenku lagi, Bas?” tanyaku sambil menyalakan AC, menutupi haru yang masih menyelimuti hatiku.

Kegugupan tergambar di wajah Bastian. Segera diletakkannya bunga itu di atas meja itu kembali.

“Apa istrimu tidak mencarimu?” sambungku sambil menyalakan api pada rokok dan tetap berpura-pura tidak melihat kegugupannya.

“Tidak.”

“Seharusnya kau pulang ke rumahmu, bukan ke apartemenku.”

“Kau keberatan?”

“Tidak. Hanya saja aku tak ingin tergantung lagi padamu.”

“Mengapa?” tanyanya lemah. “Apa memangnya kau bahagia seperti itu?”

Apa maksudnya? Aku mengunci bibir.

“Jangan marah. Aku hanya ingin tahu, apa ketiadaanku di sampingmu, membuatmu lebih nyaman dan lebih bahagia?”

“Memangnya apa urusannya denganmu?”

“Jika kau lebih nyaman dan lebih bahagia, setidaknya urusanku yang pertama, aku harus membiarkanmu. Urusanku berikutnya, membunuh cinta itu.”

“Kau seharusnya sudah melupakanku sejak kau menikah.”

“Seandainya aku bisa, Na. Beribu kali aku mencoba menghapus bayangmu dari hidupku, namun kau terus hadir dalam kebersamaanku dengannya, hingga aku kurang menghargai pernikahanku.”

“Istrimu tak menuntut apa-apa darimu?”

Bastian menggeleng.

“Sekalipun memintamu untuk tidur di rumah?”

Bastian menggeleng lagi. “Ia hanya menghubungiku jika aku menyuruhnya menghubungiku atau jika ada hal yang sangat penting sekali.”

“Istri teladan,” komentarku sinis.

Bastian tidak menanggapi kata-kataku.

“Sudah jadi istri teladan, pasti kaya pula, setidaknya ia pasti berstatus sama denganmu,” sambungku. “Aku jadi ingin bertemu dengan istrimu, melihat wanita seperti apa yang dipilihkan oleh Ibumu untukmu. Aku penasaran, seperti apa serasi dan cocok versi Ibumu itu.”

“Na, aku harus bagaimana lagi?” tanya Bastian lemah. “Aku tahu bahwa kau dan Ibuku ingin memberiku bahagia, namun bahagia itu harus bertabrakan dengan jenis cinta yang kalian miliki untukku. Dengan tertekan, aku harus memilih, tanpa sempat mengambil keputusan apapun. Akhirnya, aku hanya mengorbankan perasaan dan melukai banyak hati. Maafkan aku, Na. Seharusnya aku tahu diri.”

Aku mematikan rokok pada asbak dan menahan tangis. Bersama kata-kata Bastian, kepedihan itu larut. Luka yang merobek perasaan ini terasa mulai mengering. Sedendam itukah aku pada Ibu Bastian? Setelah lima tahun berlalu, masih sekeras itukah hatiku? Sejujurnya aku harus mengakui bahwa tak bisa menerima masa lalu itu apalagi memulai hidup yang baru.

“Aku tahu, semua ini sangat tak adil bagimu. Hanya karena keadaan, seonggok cinta harus kehilangan bentuknya. Mungkin kau adalah kekasih hatiku, Na, sehingga kau sulit terusir dari hatiku.”

Bastian mendekatiku. Sepasang matanya teduh menatapku.

“Aku minta maaf, Na,” ulang Bastian lagi. “Jika semua ini memberatkanmu, suruhlah aku pergi. Sekalipun di masa depan aku menemukanmu, aku berjanji tak akan menghidupkan kenangan kita lagi.”

Bas, kali ini aku tak ingin menghindarimu lagi. Kau juga tahu, aku tak peduli dengan status. Menggapai hatimu jauh lebih berharga daripada mendapat status apapun darimu dan memiliki dirimu, walaupun tidak seutuhnya, akupun tidak keberatan. Aku masih ingat dengan waktu itu, hari terakhir kita bertemu, lima tahun yang lalu. Kau bilang padaku, Ibumu memilih mati jika kau masih bersamaku. Aku terus-menerus memohon padamu untuk jangan meninggalkanku. Setelah segala yang kumiliki kuberikan padamu. Setelah hati, perasaan, dan tubuh ini tertambat padamu, mulutku masih bisa berucap bahwa aku puas sekalipun aku hanya menjadi wanita kedua dalam hidupmu. Aku kuat sekalipun aku menanggalkan hakku untuk memilikimu dan tetap setia sebagai kekasihmu. Aku sanggup menjalani hubungan kita tanpa harus menikah denganmu. Tak apa bagiku, jika kau menikahi wanita yang dipilihkan oleh Ibumu dan aku hanya dicap sebagai selingkuhanmu saja. Aku bisa menikmati hidupku, sekalipun kau tidak selalu bersamaku dan hanya sesekali waktu saja kau menyentuhku. Bukankah kita bisa pacaran terus? Bukankah pacaran tidak mengharuskan adanya suatu pernikahan? Apa yang kita susahkan? Apa masalahnya? Aku tak keberatan sekalipun dunia ini tidak mengenalku sebagai istrimu dan tidak mencatatmu sebagai suamiku. Bagiku yang terpenting, aku tak kehilangan cinta.

“Marina,” sapanya lembut. “Apa kau masih menginginkanku?”

Perlahan aku mengangguk, menanggalkan gengsiku. Bastian memeluk erat tubuhku. Di dada bidang itu, kubenamkan kepala dan membiarkan air mataku mengalir deras.

***

Ting! Pintu lift terbuka.

“Lea?” Lisa langsung menempelkan pipinya ke pipiku, tak ada ragu terasa ketika ia memelukku.

“Apa kabar denganmu, Lea? Aku kangen banget sama kamu.”

“Aku juga,” sahutku datar, sedikit berbohong.

Nyaris setiap malam dalam dua bulan terakhir ini, aku datang ke café, makan ice cream, dan berharap bertemu denganmu lagi. Tapi kau tidak pernah datang.”

“Aku sedang full job.”

“Baguslah, daripada full kesal,” komentarnya riang. “Aku tak menyangka, kita bisa bertemu lagi. Mungkin kita berjodoh.”

Ngomong-ngomong kau habis dari mana?” aku tak menanggapi sikapnya yang menurutku terlalu berlebihan. Bagiku, bertemu dengan siapapun di manapun juga, bukan sesuatu yang aneh dan hal itu tidak ada hubungannya dengan istilah “jodoh”.

“Aku baru saja dari CS Law, tanda tangan dokumen.”

CS Law? Itu tempat aku bekerja.”

“Rupanya kau seorang pengacara?”

“Belum, baru asisten. Ini aku baru pulang meeting dengan klien.”

“Kemudian pintu lift ini mempertemukan kita,” katanya riang. “Aku yakin kita sedang dihadapkan pada sign yang sama. Pertemuan-pertemuan kita adalah pertanda.”

“Pertanda apa?”

“Aku tak tahu,” jawabnya ringan, sambil melihat jam tangannya. “Dua puluh lima menit lagi, tepat jam dua belas siang. Apa pas dengan waktu istirahatmu?”

Aku mengangguk.

“Jika tidak keberatan dan kau juga tidak sibuk, bagaimana kalau kita makan siang bersama?”

“Aku perlu membuat report,” kujawab demikian karena aku malas mengobrol dengan Lisa. Namun aku harus pandai-pandai memanfaatkan kesempatan, siapa tahu Lisa adalah klien CS Law yang mungkin saja bisa menaikkan karierku di masa depan. Jadi cepat-cepat aku menyambung kata-kataku, “Tapi hanya sedikit kok. Setelah aku menyelesaikan report-ku, kita bisa bertemu.”

“Asyik,” sahutnya riang. ”Aku menunggu di Starbucks Coffee Shop lobby gedung ini, ya.”

***

Latte? Kau tak salah panas terik begini minum latte?”

Lisa mengganggukkan kepala.

“Kecuali terhadap ice cream, perutku tidak ramah dengan makanan atau minuman yang dingin. Jadi bagaimanapun cuacanya atau kapanpun waktunya, aku tetap memilih minuman hangat.”

Menanggapi kata-kata Lisa, aku menyunggingkan bibirku sedikit.

“Ya, demi kebaikan bersama. Tak enak kan jika mengobrol sambil bolak-balik toilet terus! Ngomong-ngomong kita mau makan siang di mana? Tak mungkin kan makan siangmu segelas kopi.”

“Ada food court di lantai sepuluh gedung ini. Aku temani kau makan. Aku absent makan siang. Sedang diet.”

“Pantas kau begitu cantik,” komentar Lisa sambil memamerkan senyumnya. “Kau rajin diet rupanya.”

Aku senyum.

“Baiklah, aku tak akan menggagalkan diet-mu. Kita ngobrol di sini saja.”

“Kau tidak lapar? Masa makan siangmu segelas latte?”

“Meniru kata-kataku,” sahut Lisa sambil mencibir. “Aku kan bisa beli sandwich di sini jika kelaparan.”

“Kelaparan. Lucu sekali bahasamu,” kataku sambil tertawa. “Heh, kita melupakan sesuatu!” tiba-tiba aku ingat dengan utang lemon squash-ku padanya. Aku harus menepati kata-kataku, sekalipun “spirit” kata-kataku adalah basa-basi.

“Melupakan apa?”

“Seharusnya aku yang membayar latte-mu.”

Lisa tertawa. Aku bengong, tak enak hati.

“Sudahlah, tak usah perhitungan begitu.”

“Bukan soal perhitungan,” kataku sambil membuka kancing dompetku.

“Jangan! Jangan! Ini kan bukan kesalahanmu atau kelupaanmu. Masalahnya, aku kan yang datang terlebih dahulu ke Starbucks. Masa aku tidak membeli apa-apa. Aku diusir kali, kalau hanya numpang duduk membaca majalah yang disiapkan di sini.”

“Kalau begitu aku belikan sandwich saja, ya.”

“Jangan! Jangan! Aku belum begitu lapar. Lagipula aku gampang kalau mau makan, aku kan tidak terikat dengan jam kerja.”

“Tapi…”

Please, Lea. Jangan begitu padaku. Kita mengobrol saja, ya.”

“Baiklah, aku tak memaksa,” kataku sambil merapatkan kancing dompetku. “Jadi, untuk kedua kalinya aku mengalah padamu.”

Lisa tertawa.

“Sejak pertemuan kita di café, aku sudah mengira-ngira bahwa kau adalah wanita yang hebat. Ternyata perkiraanku benar. Kau bukan saja cantik, tetapi kau juga punya karier yang begitu menjanjikan.”

“Pertama kali bertemu denganmu di café, kupikir kau seorang lesbian.”

Kontan Lisa terbahak-bahak mendengar pernyataanku. “Kau gila. Aku normal, aku sudah menikah dan punya suami,” katanya.

Aku turut menyatukan tawaku dengannya, hingga nafas kami terenggah-enggah.

“Aku memperhatikanmu karena wajahmu enak dilihat saja. Tak lebih dari itu. Percayalah, aku tak punya niat untuk menjadikanmu pacarku,” sambung Lisa sambil meneguk latte untuk menenangkan tawanya.

Setelah tawa kami mereda, aku bertanya, “Kau klien baru CS Law?”

Lisa tidak menjawab pertanyaanku, malah ditunjuknya sesuatu yang menempel pada blazer yang kukenakan sambil bertanya, “Bros itu?”

“Ya?”

“Kau membeli bros itu di mana?”

“Oh! Bros ini,” sahutku sambil memegang bros berbentuk bintang yang menempel pada blazer-ku. Bentuk bintang itu diukir oleh bebatuan yang bisa bersinar. Apabila seberkas cahaya menghadang pada permukaan bros tersebut, maka batu-batu itu akan memancarkan kilau yang gemerlap.

“Aku tidak membelinya,” sambungku. “Ini pemberian sahabat kecilku.”

“Sahabat kecil?”

“Ya. Ketika aku belum bersekolah, aku punya seorang sahabat. Usianya mungkin sepantar denganku, tetapi ia sudah bersekolah. Ia pandai ballet dan berbahasa Inggris. Seringkali ia memberiku makanan kecil, coklat, permen, gula-gula, buku cerita hingga Barbie-nya. Beberapa kali ia mengajariku ballet dan melafalkan bunyi kata dalam bahasa Inggris. Suatu hari, kami berpisah. Aku pindah dari Jakarta. Sebelum kami berpisah, ia meminta sebuah bros pada Ibunya dan menghadiahkan bros Ibunya itu padaku. Katanya, seperti bintang yang menerangi gelapnya langit malam…”

“Seperti itulah persahabatan, menjadi harapan yang hadir dalam setiap kesedihan.”

“Parit?”

Lisa membisu, tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya, hanya air mata turun bercucuran di pipinya.

Segera kuloncati meja yang menjembatani sofa kami. Kemudian kupeluk erat Lisa. “Kau benar, kita sedang dihadapkan pada sign yang sama. Pertemuan-pertemuan kita adalah pertanda,” bisikku padanya. “Ternyata kau adalah seseorang yang pernah mengisi masa kecilku.”

***

“Rasanya tak sabar menunggumu di café ini, Lea. Selepas berpisah denganmu siang hari tadi, waktu terasa berjalan sangat lambat.”

“Ya, aku juga demikian. Tak sabar rasanya, ingin segera bertemu denganmu,” timpalku. Kali ini aku tidak berbohong. “Pikiranku sudah tidak bersama pekerjaanku.”

“Lantas bagaimana dengan pekerjaanmu, dong?”

“Belum selesai sih,” sahutku. “Ah, tapi tidak apa-apa kok. Sekali-kali, aku jangan mengambil lembur terus.”

Lisa tertawa, kemudian tanyanya, “Tapi pekerjaanmu tidak kejar deadline kan?”

“Tidak. Yang pending hanya beberapa pekerjaan rutin saja dan tadi aku sudah mendistribusikan pada para juniorku.”

“Satu hal yang membuatku salut dari mereka yang bekerja di firma hukum adalah mereka tahan banting dengan jam kerja yang panjang,” kata Lisa sambil tertawa. “Apa kau tidak lelah, Lea?”

“Awal aku bekerja di sana, di firma hukum itu, memang terasa sangat melelahkan. Rata-rata aku bekerja Senin sampai dengan Jumat, pukul delapan pagi sampai dengan pukul sepuluh malam. Jika sedang mengerjakan proyek atau kejar deadline, aku bisa menginap di tempat kerja atau masuk di hari libur. Singkat kata, hari kerjaku tak tentu dan waktu kerjaku tak tetap. Tapi lama-kelamaan, kelelahan pun menjadi tidak berarti karena aku menikmati pekerjaanku itu. Bahkan jam kerja yang panjang itu pun terasa begitu singkat olehku. Entahlah, mengapa waktu terasa begitu cepat berlalu.”

“Kau sangat hebat. Kalau aku, jujur ya. Jangankan bekerja dengan jam kerja yang panjang, bekerja dengan jam kerja kantor saja, yang hanya delapan jam per hari saja, aku sudah tak kuat. Aku bisa gila kalau terpenjara dalam tempat yang namanya kantor dan kegiatan yang namanya rutinitas. Hhh… aku sungguh kagum padamu.”

“Ah, kau berlebihan, Lis. Kita pesan makanan, yuk,” kataku seraya mengacungkan tangan kananku, memanggil waiter café.

“Kau tidak diet?”

Kan sudah tadi siang. Kalaupun sekarang ini jadwal diet-ku, aku tetap akan membatalkannya. Untuk merayakan pertemuan kita.”

Seorang waiter mendatangi meja, membawa menu cafe, kemudian menawarkan hidangan favorit café.

“Aku pesan chicken wings, lasagna, dan sop buntut bakar, minumnya lemon squash saja,” kataku.

“Kau tidak salah?”

“Apanya yang salah? Ayo, Lis. Kau mau pesan apa?”

“Aku beef steak saja.”

“Tambah minumnya mungkin?” tanya waiter pada Lisa.

“Masih ada,” sahut Lisa sambil menunjuk green tea hangatnya.

“Jadi pesanannya saya ulang, satu chicken wings, satu lasagna, satu sop buntut bakar, satu beef steak, dan satu lemon squash. Ditunggu dua puluh menit,” waiter itu beranjak pergi setelah menuturkan kata-katanya tersebut.

“Apa kauyakin bisa menghabiskan semua pesananmu?”

Aku mengangguk.

“Satu lagi, kupikir pesananmu itu tidak nyambung, Lea. Chicken wings, bolehlah jadi padanan lasagna atau sop buntut bakar. Tapi kalau lasagna dipadankan dengan sop buntut bakar, membayangkannya saja aku merasa sudah eneg.”

“Tidak, ah. Menurutku fine-fine saja. Enak.”

“Itu kan aneh.”

Aku tertawa. “Aneh karena kau hanya membayangkannya saja, tidak mencoba untuk memakannya.”

“Aku makan yang normal, Lea.”

Aku meneruskan tawaku.

Lisa hanya tersenyum tipis, lalu sambungnya serius, “Akhirnya harapanku yang mustahil itu, kini jadi kenyataan. Aku sangat bersyukur bisa bertemu denganmu lagi.”

Aku mengangguk. “Sungguh tak kusangka, Lis. Setelah dua puluh tahun lebih tidak bertemu, hari ini kita dipertemukan kembali,” Sekilas teringat dalam benakku tentang pertemuanku dengan Lisa di café ini satu bulan yang lalu. Waktu itu, ia mengatakan padaku bahwa bertemu denganku seolah bertemu dengan seorang teman lama. Hhh… Kupikir feeling Lisa memang bagus.

“Seiring berjalannya waktu, kau juga berlalu dari ingatanku. Namun aku tetap mengingat persahabatan kita di masa kanak-kanak dulu,” sambung Lisa. “Hanya satu keyakinanku, jika semesta menuliskan demikian, maka bagaimanapun mustahilnya harapan kita, apapun atau siapapun tak akan bisa merintanginya.”

Walaupun tidak sepakat dengan keyakinan Lisa, aku tetap menganggukkan kepala. Aku tidak percaya dengan sesuatu yang namanya “jodoh” atau “takdir”. Semua hal yang terjadi dalam kehidupan seorang manusia, kupikir hanya manusia itu sendiri yang dapat mengukir dan menulisnya. Tidak ada pengaturan alam dan tidak ada yang istilahnya “jalannya memang demikian”. Segala sesuatu yang dihadapkan pada kita, hanyalah suatu kesempatan, yang selalu menawarkan dua pilihan, ambil atau tidak.

“Sampai kini aku masih menyisakan satu pertanyaan untukmu, mengapa kau tiba‑tiba pindah ke Solo?” tanya Lisa lagi. “Kau dan keluargamu seolah lenyap dalam sekejap. Aku masih ingat, sehari setelah kita berpisah, aku meminta pada Ibuku untuk mengantarku berkunjung ke rumahmu. Pikirku, mungkin saja kau masih belum berangkat ke Solo, aku ingin memberikan beberapa Barbie untukmu.”

Lisa, sedari kecil dulu kau memang baik hati, batinku. Kau begitu manis dan berhati emas. Sekalipun kau hidup dalam kelimpahan, tidak sedikitpun tersirat kesombongan dalam tutur kata, sikap, ataupun perbuatanmu.

“Ibuku kemudian mengantarkanku ke rumahmu,” sambung Lisa. “Namun ternyata rumahmu sudah kosong. Ada tulisan besar pada pintu pagar rumahmu, dijual. ”

“Dulu aku tidak mengerti apa-apa,” sahutku sambil menghela nafas. “Dan semua terjadi begitu cepat. Aku dan Ibu pindah ke Solo karena Ayah dan Ibu bercerai.”

“Cerai?”

“Ya. Aku tahu begitu terlambat. Seringkali aku bertanya tentang Ayah pada Ibu dan Ibu selalu menjawab bahwa Ayah banyak pekerjaan dan dinas luar kota. Ibu hanya berjanji padaku bahwa suatu hari nanti, ia akan mengajakku kembali ke Jakarta untuk menemui Ayah. Nanti dan nanti. Aku dididik Ibu untuk menanti, menanti tanpa tujuan,” kataku tegar. “Menjelang aku lulus dari sekolah menengah, Ibuku sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Menjelang ajalnya, Ibu meminta maaf padaku dan memberitahuku tentang kebenaran itu. Ayah menceraikan Ibu untuk putri tunggal Boss‑nya. Mereka saling mencintai, demikian kata Ibu. Ibu merelakan Ayah dan membawaku pulang ke rumah orang tuanya di Solo.”

Lisa masih menyimak penuturanku dan aku melihat keprihatinan tergambar pada wajahnya.

“Kedua orang tua Ibu, kakek-nenekku, sudah meninggal dunia. Jadi setelah Ibu tiada, aku hanya tinggal berdua dengan Tante, adik Ibuku yang paling bungsu. Kami hanya berselisih umur sekitar dua belas tahun. Kira-kira satu tahun setelah Ibu tiada, Tante mendapat tawaran pekerjaan di Jakarta. Aku dibawa Tante turut serta ke Jakarta. Dengan demikian, aku kembali lagi ke kota kelahiranku ini.”

“Kau tak pernah bertemu dengan Ayahmu lagi?”

Aku menggeleng.

“Tidak mencarinya?”

“Aku sudah melupakannya, Lis.”

“Mengapa begitu?”

“Aku punya Tante. Itu cukup bagiku.”

“Kau pasti sangat menyayangi Tantemu.”

Aku mengangguk. “Bagiku, Tante seperti pengganti Ibu. Aku berutang banyak padanya. Ada satu kesamaan antara Ibu dengannya yaitu mereka memberikan kasih yang tulus padaku.”

“Jadi sekarang kau tinggal bersama Tantemu?”

Aku mengangguk. “Tapi sementara ini aku tinggal sendiri. Tante sedang di Inggris, meneruskan S3.”

“Tinggal sendiri?”

“Aku hanya tinggal berdua dengan Tante.”

“Tantemu belum berkeluarga?”

“Tidak.”

“Belum menikah?”

“Bukan. Ia memutuskan untuk tidak menikah. Setelah lebih dari sepuluh tahun berpacaran, laki-laki itu meninggalkannya. Sejak itu Tante hanya fokus dengan pekerjaannya.”

“Apa ia seorang pengacara juga?”

Hand phone-ku berdering. Bastian. Nama itu muncul di layar hand phone.

“Maaf, Lis. Aku angkat dulu.”

“Silakan,” sahut Lisa.

Bersamaan di waktu itu, waiter mengantarkan makanan yang dipesan dan aku bicara dengan Bastian di telepon.

“Masih di café, Na?”

“Ya, masih ngobrol.”

“Aku tahu, pasti sedang kangen-kangenan di sana.”

Aku tertawa. Tampak olehku Lisa menggeser letak piring-piring yang berisikan makanan di atas meja, hingga penataan piranti di atas meja sedap dipandang mata.

“Pekerjaanku juga baru selesai. Aku baru mau keluar dari ruang kerjaku. Paling cepat aku sampai di café pun satu jam lagi. Jadi santai saja mengobrol dengannya.”

“Ya.”

“Nanti aku langsung masuk ke café atau bagaimana?”

“Masuk saja. Sekalian kukenalkan pada sahabatku dan juga sekalian juga makan di sini. Biar aku tak perlu repot memikirkan makananmu nanti.”

“Baiklah,” kata Bastian sambil tertawa. “Sampai nanti, ya. Hmm… kangen sekali padamu.”

“Ya, sudah. Aku tunggu di sini,” kataku girang. “Hati-hati di jalan.”

Aku menutup telepon, lalu mengajak Lisa makan.

“Suamimu?” tanya Lisa sambil mengerat beef steak-nya.

“Pacarku,” jawabku cuek, sambil memasukkan suapan pertama nasi dan sepotong buntut bakar ke mulutku.

“Oh… Percaya deh, sebentar lagi juga kalian pasti akan menikah.”

Menikah? Rasanya tidak mungkin. Selama Ibu Bastian masih hidup atau selama Bastian tetap menaruh hormat pada Ibunya, aku dan dia tidak akan pernah menikah. Hubungan kami akan terus seperti ini, terikat, cukup jelas, namun tanpa arah, apalagi tujuan. Kami hanya menikmati kebersamaan dan meneruskan cerita lama yang mungkin belum selesai.

“Rasanya tidak akan ada pernikahan,” tiba-tiba kata hatiku meluap menjadi kata yang terucap di mulut.

“Apa?” Lisa membelalakkan mata, jelas ia terkejut.

“Maksudku, pernikahan kami rasanya masih lama,” kataku memperbaiki. “Saat ini, kami belum memikirkan pernikahan.”

“Kau takut pernikahan akan menghambat kariermu?”

“Sedikit.”

“Kupikir wanita seusia kita, ya sekitar dua puluh delapan atau dua puluh sembilan tahunan, sudah perlu memikirkan pernikahan. Jangan keasyikan menikmati pekerjaan dan mengejar karier, kata Ibuku, bisa-bisa bablas. Lupa menikah!”

Aku tersenyum terpaksa, ada getir-pahit yang terasa di bibirku yang merekah itu.

“Sudah berapa lama kalian berpacaran?” tanya Lisa lagi.

“Tak jelas.”

“Maksudnya kalian putus-nyambung?”

“Yang pasti ia adalah pacar pertamaku, ia adalah mahasiswa bimbingan Tanteku.”

“Rupanya Tantemu dosen?”

“Ya. Waktu itu aku masih seorang anak SMA, masih adaptasi dengan kehidupan Jakarta. Setiap hari sepulang sekolah dulu, aku langsung menemui Tante di kampus, makan siang di ruang kerja Tante, membuat pekerjaan rumah atau belajar untuk ulangan, sambil menunggu Tante selesai memberi kuliah. Setelah itu, kami baru pulang bersama ke tempat tinggal kami, “ kataku sambil tetap menyuapkan nasi dan potongan buntut ke mulut. “Hingga hari itu, ia mendatangi ruang kerja Tante untuk mengkonsultasikan bab akhir skripsinya pada Tante. Itulah awal pertemuan kami. Kami berkenalan, pacaran, hingga empat tahun kemudian, kami putus.”

Kenapa putus?”

“Ibunya tidak menyukaiku.”

Kenapa bisa begitu?”

“Karena keluargaku tidak sempurna, lagipula aku tak kaya.”

Kok begitu? Kesempurnaan itu semu dan kekayaan itu tak pernah abadi. Jadi mengapa menjadikan kedua istilah itu sebagai alasan untuk memisahkan kalian?”

“Sayang kau bukan Ibunya.”

Lisa tertawa. “Tapi sekarang Ibunya pasti menyukaimu kan? Kariermu begitu menjanjikan. Pekerjaanmu juga bukan sembarang pekerjaan. Pasti pandangan Ibunya berubah drastis padamu, tidak seperti dulu lagi.”

“Aku tak tahu,” kataku sambil mengunyah chicken wings. “Setelah lima tahun aku menghilang darinya, baru beberapa bulan yang lalu, aku bertemu kembali dengannya.”

“Cinta lama bersemi kembali, kemudian kalian mengikat komitmen lagi.”

“Ya. Kurang-lebih begitu.”

“Lima tahun menghilang darinya. Apa kau tidak tersiksa?”

“Cukup tersiksa,” kataku sambil mengambil potongan chicken wings yang lain dari piring. “Tapi waktu itu, aku tak punya daya apapun untuk mempertahankan hubungan kami. Ibunya terlalu dominan dan ia sangat patuh pada Ibunya. Waktu itu, hanya ada dua hal yang membuatku tetap bertahan. Tanteku dan balas budi. Aku baru saja menjadi seorang sarjana dan baru saja diberi kesempatan untuk membalas kebaikan Tante, masakan aku bunuh diri dan membuat Tante menjadi gila.”

Lisa tertawa.

“Jadi aku berusaha bertahan, walaupun merasa bosan hidup, terbuang, dan tertekan. Aku perlu menghilang, demikian kataku pada Tante. Tanpa banyak pertimbangan apapun, Tante menjual apartemen lama yang kami tempati lebih dulu, menguras seluruh tabungannya, dan membeli apartemen baru di daerah selatan. Hanya aku dan Tante yang tahu, pada apartemen mana kami tinggal. Beberapa bulan kemudian, aku mendapat tawaran pekerjaan dari CS Law. Pada akhirnya, kuisi hari‑hariku dengan pekerjaan dan kuhabiskan waktu untuk merintis karier.”

“Apa kau berhasil melupakannya?”

“Memang tidak. Aku selalu mengenangnya dan ia tak pernah beralih dari hatiku. Namun setidaknya aku menjadi lebih tegar.”

“Lea, sesungguhnya pikiranmu ialah di mana hatimu tertaut dan hatimu adalah di mana pikiranmu damai.”

“Maksudmu?”

“Menurut pendapatku, sebenarnya jauh di lubuk hatimu, kau hanya menjadikan kariermu sebagai pelarian. Maaf, aku tidak bermaksud apapun. Hanya saja, nampaknya keputusanmu akan sama seperti Tantemu, jika kau tidak bertemu dengan cinta lamamu lagi.”

Aku membisu. Mungkin Lisa benar. Dalam perjalanan hidupku, sekalipun semuanya terasa hampa karena kulalui tanpa Bastian, asalkan aku punya karier, maka setidaknya aku masih punya alasan. Alasan mengapa aku hidup. Alasan mengapa Tante membawaku kembali ke Jakarta. Alasan mengapa aku menghilang dan menenangkan hati. Alasan mengapa aku tegar. Walaupun alasan itu sejatinya hanya suatu pelarian, aku tidak peduli.

“Tapi, badai sudah berlalu, bukan?”

“Mungkin berlalu dan kau licik deh. Masa aku saja yang terus-terusan cerita,” kataku mengalihkan pembicaraan. “Ya, bisa-bisa aku telanjang di hadapanmu, sementara kau lengkap dengan sweeter tebalmu, hingga...”

“Si lesbian ini bisa benar-benar jatuh cinta padamu,” tanggap Lisa sambil tertawa. Aku juga terbahak-bahak mendengar kata-katanya. Lesbian… Rasanya konyol, kataku dalam hati. Entah mengapa dulu aku bisa berpikir demikian terhadap Lisa.

“Jadi, silakan bercerita padaku tentang pernikahanmu, rutinitasmu, atau apapun tentang kehidupanmu.”

“Baiklah,” kata Lisa sambil meletakkan pisau dan garpu di atas piring. Ia sudah menghentikan makannya. Ada beberapa iris kentang goreng tersisa di piringnya. “Soal kehidupanku, aku ini wanita biasa-biasa saja. Aku menikah dan tak punya karier sepertimu.” Lisa menghentikan kata-katanya dan menatapku sambil tersenyum.

“Hanya begitu ceritamu?”

Lisa mengangguk.

“Ah, kau sungguh-sungguh licik, Lis,” protesku sambil menyuapkan lasagna ke dalam mulutku. “Masa ceritamu hanya terdiri dari kata wanita biasa, menikah, dan tak punya karier? Cerita yang benar!”

Lisa melayangkan tawanya keras-keras. “Aku bukan tak mau cerita, hanya saja aku tak tahu harus bercerita dari mana, cerita bagian mana, atau…”

“Ya, sudah,” potongku. “Aku pandu. Sekarang ceritakan bagaimana dengan ballet dan bahasa Inggrismu?”

Lisa masih tertawa. “Soal ballet, aku tak mendalaminya lagi,” jawabnya setelah tawanya berhenti. “Pokoknya terakhir ballet itu waktu aku duduk di kelas pertama sekolah menengah. Setelah itu, aku hanya fokus dengan sekolah dan bahasa Inggris. Aku meninggalkan Jakarta ketika berumur enam belas tahun untuk meneruskan sekolah di luar.”

“Enam belas tahun dan di luar negeri?”

Lisa mengangguk. “Di Amerika. Karena bahasa Inggrisku lumayan, aku bisa langsung meneruskan study ke universitas.”

“Kau mengambil bidang apa?”

Historical Linguistics.”

“Bidang yang aneh,” komentarku.

“Bidang itu cabang dari Archaeology dan Anthropology.”

“Tetap saja aneh. Apa bidang itu sangat populer di Amerika?”

“Tidak juga.”

“Lantas mengapa sekolah jauh-jauh kalau hanya untuk mengambil bidang yang tidak populer?”

“Perjalanan dan aku mencintai prosesnya.”

Aku mengerutkan dahi.

“Kehidupan ini adalah perjalanan dan proses adalah warnanya,” jawab Lisa mantap. “Sekolah dan Historical Linguistics adalah dua warna dari sekian juta warna kehidupanku. Aku tak pernah memikirkan sepopuler apakah Historical Linguistics di mata orang-orang atau bagaimana nasib ijazahku kelak. Bagiku yang terpenting, kehidupanku berwarna dan aku menikmati warna itu.”

Jujur harus kuakui bahwa hatiku sungguh kagum pada Lisa, namun yang keluar dari mulutku, “Jadi apa yang kaulakukan setelah lulus dari universitas?”

“Melihat dunia,” jawabnya ringan. “Aku lulus dari universitas ketika berumur dua puluh tahun. Aku merasa masih sangat muda dan dunia bukan hanya Amerika saja. Jadi kuputuskan untuk mengambil course-course bahasa singkat di beberapa negara. Setiap tiga bulan sekali aku pindah negara, memulai suatu adaptasi yang baru dan berbeda. Aku belajar bahasa asing yang hidup di daratan Eropa dan Afrika. Secara otomatis aku mengenal pula negara dan bangsa yang baru. Masa ini tak ubahnya dengan wisata panjang, yang memberiku kesempatan untuk mengenal banyak budaya, bahasa, adat, dan kebiasaan.”

Aku takjub, sampai kuhentikan suapan lasagna-ku, menyimak penuh cerita Lisa.

“Tuhan sangat baik padaku, memberiku kesempatan hingga sebegitunya. Sebagai puji-syukurku, kubagikan seluruh pengalamanku itu untuk orang lain lewat tulisan‑tulisan.”

“Tulisan? Apa kau seorang penulis?”

“Ya.”

“Penulis jurnal, cerita, atau novel begitu?”

Lisa mengangguk.

“Astaga Lis, kau ini sungguh-sungguh air tenang yang menghanyutkan,” aku tak bisa menyembunyikan kekaguman dari wajahku. “Tapi pasti kau menyamarkan nama, soalnya aku tak pernah melihat penulis cerita ataupun novel dengan nama Lisa.”

“Apalah arti sebuah nama, Lea! Bagiku, nama hanyalah suatu penjerat.”

“Maksudmu?”

“Sesuatu sering kehilangan kualitas sesungguhnya, hanya karena besarnya suatu nama. Kau membeli pakaian ini, karena nama merk-nya yang terkenal. Kau menyukai lukisan itu, karena nama pelukisnya itu. Kau memakai jasa pengacara yang ini, karena namanya menjamin kemenangan kasus-kasusmu. Kau begini-begitu, karena kauyakin dengan namanya. Akhirnya, kau hanya mengenal namanya saja, bukan kualitasnya.”

Aku terus memasang kekaguman di wajahku. Wanita model apa yang sedang berbicara denganku ini. Bagiku, Lisa sungguh sempurna. Kehidupannya, pengalamannya, sikapnya, bahkan pandangan hidupnya. Semuanya sungguh menyatakan suatu ketenangan dalam batin. Inikah yang disebut kedamaian hati?

“Jadi keseharianmu kini pasti menulis.”

“Ya. Tapi tidak full untuk menulis. Aku harus mengurus beberapa pekerjaan di perusahaan keluargaku.”

“Perusahaan suamimu?

“Bukan. Aku mengurus perusahaan orang tuaku. Suamiku juga punya perkerjaan dan ia mengurus perusahaannya sendiri.”

“Suamimu tak keberatan?”

“Tidak.”

“Apa suamimu orang asing, seorang bule? Jadi ia cuek terhadap segala kesukaan dan kesibukanmu?”

“Bukan. Ia orang Indonesia juga. Setelah kurang-lebih enam tahunan melihat dunia, aku dipanggil pulang ke Jakarta oleh kedua orang tuaku, untuk dijodohkan dengannya. Sebelum menikah, kami hanya sempat bertemu dua kali saja, perkenalan dan lamaran.”

Ekspress sekali. Kau tidak keberatan melepas kebebasan yang kaumiliki?”

Lisa menggeleng.

“Apa hati kalian langsung terpaut pada pandangan pertama?”

“Aku tak tahu dengan hatinya, tapi dengan hatiku, aku sangat mengasihinya.”

“Dia pasti mencintaimu, Lis. Seandainya aku menjadi kau, aku…”

“Jangan begitu, kau lebih baik dan lebih sesuai menjadi dirimu,” potong Lisa. “Kau hanya melihat dan mendengar sisi yang indah dari hidupku, makanya kau berandai-andai menjadi aku. Sebenarnya, aku juga punya sisi kehidupan yang menyakitkan dan mengecewakan, hanya saja aku tak biasa untuk mengungkapkan sisi‑sisi itu pada orang lain. Sakitku hanya kubagi dengan Tuhan dan kecewaku hanya kubagi dengan ice cream.”

Kami tertawa bersama. Aku hendak mengeluarkan kotak rokok dari tasku. Rasanya mulutku sudah pahit dan tanganku sudah gatal, ingin menyundutkan api pada ujung rokok. Tiba-tiba aku teringat akan respon Lisa atas sindiranku pada waktu kami bertemu pertama kali di café ini. Waktu itu, ia memberiku saran untuk tidak merokok lagi, katanya merokok tidak baik untuk kesehatan dan aku masih membohonginya. Kukatakan bahwa aku merokok ketika aku sedang kecewa saja. Di luar dugaanku, ia malah berucap bahwa jika sedang kecewa, lebih baik seseorang makan ice cream bukan merokok. Walaupun perlu menangis hingga rasa ice cream itu berubah menjadi asin, menurutnya ice cream tetap lebih baik untuk kesehatan daripada rokok.

Hand phone Lisa berdering.

“Hallo,” Lisa mengangkat telepon. Untuk mengusir keinginan untuk merokok, perlahan kusuapkan sedikit demi sedikit lasagna ke dalam mulutku.

“Apa?” suara Lisa meninggi, nampaknya Lisa mendengar kabar yang tidak baik.

“Jadi sekarang Ibu di mana?” wajah Lisa tampak panik. “Ya sudah, aku segera ke sana,” kata Lisa sambil menutup telepon.

“Ada apa, Lis?” tanyaku sehabis Lisa menutup telepon.

“Ibu Mertuaku pingsan. Ia sudah dilarikan ke rumah sakit dan aku harus segera ke sana,” kata Lisa sambil mengeluarkan dompetnya dari tas. “Maaf, Lea. Aku tinggal sekarang, tidak apa?”

“Tentu tak apa, tetapi simpanlah dompetmu. Aku yang traktir dan kau jangan rese.”

“Baiklah,” jawab Lisa sambil menempelkan pipinya ke pipiku. Pipinya terasa dingin. “Terima kasih, Lea.”

“Nanti kuhubungi kau lagi dan semoga tidak ada yang gawat dengan keadaan Ibu Mertuamu.”

“Terima kasih, Lea. Sampai jumpa.”

Secepat kilat Lisa menghilang dari penglihatanku. Hari ini terlalu menakjubkan untukku. Kutarik nafasku dalam-dalam dan menghembuskannya ke udara. Ternyata Lisa adalah Parit, sahabat kecilku yang baik hati. Bagiku ia memang terlalu mengagumkan dan aku makin ingin menjadi dirinya. Rasanya ia ditakdirkan untuk selalu mengecap keberuntungan. Ia kaya, kehidupannya bagai di negeri dongeng. Ia bisa mencapai apapun yang disukainya, menikah, dan merasakan cinta yang terang, yang diakui dunia. Ah, tapi bukannya aku tidak peduli dengan pengakuan dunia?

Mungkin benar bahwa aku hanya melihat sisi yang indah dari hidupnya, makanya aku menganggapnya beruntung hingga aku berandai-andai menjadi dirinya. Aku mengasihani diri sendiri dan merasa gagal. Walaupun ia mengatakan bahwa ia juga punya sisi kehidupan yang menyakitkan dan mengecewakan, kemudian akupun mengerti dengan prinsip keseimbangan yang menjelaskan bahwa setiap apapun di dunia ini, pasti dibangun oleh dua sisi yang selalu berpasangan. Ada laki-laki, ada perempuan. Ada kebaikan, ada kejahatan. Ada suka, ada duka. Ada cinta, ada nafsu. Ada kasih, ada benci. Ada keberuntungan, ada kemalangan. Ada sukacita, ada kecewa. Tapi entah mengapa aku tetap iri padanya. Keirian itu makin terasa menguasaiku ketika ia mengatakan bahwa ia hanya membagi sakitnya dengan Tuhan dan kecewanya dengan ice cream. Lisa… gumamku dalam hati, sebenarnya hanya orang yang tegar yang sanggup berbagi derita hanya dengan Tuhan.

Aku masih setengah percaya pula dengan rutinitas yang dilakukannya. Jika ia terlibat untuk perusahaan keluarganya, itu tidak aneh. Ia putri dari keluarga yang kaya, pasti langsung-tidak langsung, cepat atau lambat, akhirnya meneruskan usaha orang tuanya. Seingatku sih, ia tidak punya kakak. Jadi kemungkinannya hanya dua, ia anak tunggal atau anak sulung. Ah, aku lupa menanyakan padanya, apa ia punya adik atau tidak! Tapi soal ia menjadi penulis, aku benar-benar kaget. Aku harus mencari tahu, nama apa yang dipasangnya pada novel atau cerita-ceritanya. Oh, mudah! sahut otakku kemudian. Tadi siang kan ia mengatakan padaku bahwa ia baru menandatangani dokumen di CS Law. HhhKenapa aku tidak kepikiran untuk menanyakan dokumen apa yang ditandatanganinya itu pada Lisa? Tapi tak apa, besok aku tinggal melihat saja di list dokumen pada komputer perpustakan CS Law. Aku bisa langsung dokumen apa saja yang dieksekusi hari ini. Pasti di dalam dokumen eksekusi itu ada nama lengkap Lisa dan aku bisa mengira-ngira nama lain yang dipergunakan Lisa dalam tulisan-tulisannya itu. Ah, Lisa… aku melihatnya terlalu sempurna. Selain mempunyai kehidupan yang fantastis, ia juga mempunyai sikap yang bijaksana.

“Na.”

Aku terkesiap.

“Astaga, Na! Kau sedang memikirkan apa?”

“Tidak,” kataku sambil tertawa. Entah mengapa, aku enggan menceritakan tentang Lisa pada Bastian. Bastian hanya tahu bahwa aku bertemu dengan sahabat kecilku tadi siang di gedung kantor, kemudian makan malam bersamanya di café ini.

“Mana temanmu?”

“Sudah pulang.”

“Oh,” sahut Bastian singkat.

“Kupanggilkan waiter, ya. Kau makan saja di sini.”

“Sebenarnya aku malas makan di café ini. Kurang suka dengan menunya. Lagipula kan temanmu sudah pulang dan aku sedikit kenyang.”

“Ya, sudah. Tak apa.”

“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” kata Bastian sambil menyerahkan sebuah magnetic card padaku. “Semoga kau menyukainya.”

Mataku terpaku pada benda yang ada dalam genggaman tanganku itu. Bastian, aku pasti menyukai apartemen ini. Pasti. Ini kan apartemen yang termewah di Jakarta.

“Aku sudah mendekorasi apartemen itu dan mengisi lengkap semua ruangnya dengan segala perkakas, jadi kau tinggal menempatinya saja. Kemudian apartemen itu juga atas namamu. Kaubisa menempatinya sampai dengan lima puluh tahun ke depan. Semua syarat, pembayaran, dan segala prosedurnya sudah kuselesaikan. Jadi kau tinggal menandatangani dokumen haknya saja.”

Bastian… batinku. Aku tak tahu bibirku harus mengatakan apalagi padanya. Aku sungguh beruntung karena memilih untuk mengambil tawaran “yang ini” dari kesempatan itu. Bertemu dengan Bastian, kupikir itu adalah kesempatan dan memutuskan untuk menjadi kekasihnya kembali, itulah pilihan yang kuambil. Akulah yang menulis lembar-lembar hariku dan inilah warna-warni yang mengukir kehidupanku.

***

“Hanya ini?”

“Ya. Hanya ada satu dokumen yang ditandatangani kemarin,” kata Andrea. Ia adalah salah satu pustakawan CS Law. “Dokumen pelengkap untuk proyek akuisisi.”

“Proyek akuisisi Pak Bastian itu?”

“Ya,” sahut Andrea sambil melakukan double click dengan mouse. “Hanya spouse approval. Ini soft copy-nya.”

“Apa?” aku mendekatkan wajahku ke screen komputer.

“Benar dokumen ini yang kaubutuhkan?”

Aku diam seribu bahasa. Di layar komputer itu aku membaca suatu pernyataan bahwa terdapat perjanjian pisah harta dalam pernikahan Putra Sebastian dan Ananta Paquita Sammi, karenanya tidak ada tuntutan hukum yang dapat diajukan terhadap harta bawaan Ananta Paquita Sammi, apabila Putra Sebastian mengalami kepailitan dalam menjalankan usahanya. Tak ada unsur kata “lisa” atau nama “Lisa” di sana, tetapi hatiku menjadi tawar. Mendadak aku merasa mual, kemudian muntah.

***

Aku berjalan sempoyongan di koridor rumah sakit. Pikiranku kacau, air mata membasuh wajahku. Tak mungkin semua ini terjadi, batinku. Tak mungkin Tuhan menghukumku sampai begini. Ini tidak adil dan ketidakadilan ini hanya mimpi. Mana Bastian? Di saat aku membutuhkannya, perlu mendengar suara dan merasakan kehadirannya, membagi bebanku dengannya, justru aku tak dapat menemukannya. Sudah kuhubungi seluruh nomor yang biasa kugunakan untuk mencarinya, namun tak satupun saluran itu mengantarkanku padanya. Bagaimana ini? Di waktu aku perlu menangis di hadapannya, menyampaikan seluruh perasaanku, dan mengungkap semua resahku padanya, justru ia menghilang. Aku tak sanggup, teriakku di hati. Sekarang aku hanya ingin mati!

Kemudian Lisa? Ya, Lisa! Siapa Lisa? Sign yang dihadapkan padanya hanyalah menunjukkan bahwa ia adalah Parit, sahabat kecilku dan pertemuan-pertemuan kami adalah pertanda bahwa kami adalah sepasang teman lama. Hanya itu kan? Tidak ada hal lain lagi. Tak mungkin kan Lisa berperan sebagai seseorang lagi dalam hubunganku dengan Bastian. Tak mungkin Lisa adalah nama samaran dari Ananta Paquita Sammi, istri Putra Sebastian.

“Lea, kau kenapa?” Lisa mengguncang-guncang tubuhku.

Sedetik kesadaran memenuhi pikiranku kembali.

“Kau berjalan tanpa arah, menangis, dan menggigil begini. Ada apa?”

Aku hanya menatapnya. Apakah aku masih bermimpi? Baru saja melintas dirinya di dalam pikiranku, kemudian ia bisa langsung nyata di hadapanku.

“Kupanggil kau berulang-ulang, kau sama sekali tidak menjawab. Kukejar langkah kakimu, kau masih tak merespon. Kau kenapa?”

Aku masih bungkam, tanpa mengatakan apapun lagi padaku, Lisa menggiringku ke suatu ruang di rumah sakit. Rupanya ia memapahku ke kamar VVIP. Pasti di balik gorden putih itu, terbaring Ibu Mertua Lisa yang sedang sakit.

“Duduklah,” kata Lisa sambil mendudukkanku pada sofa, tak lama ia menghilang di balik gorden.

Aku menyandarkan kepala dan melayangkan pandanganku. Aku dapat melihat warna abu-abu pada sofa yang kududuki dan sebuah meja rendah dengan vas berisikan bunga sedap malam di muka kakiku. Tak ada hal lain lagi yang dapat kulihat, karena pemandangan lainnya tertutup oleh gorden itu.

“Ada apa, Lis?” gaung suatu suara dari balik gorden.

“Ada sahabatku di depan. Ia kelelahan,” suara Lisa makin terdengar mendekat. “Jadi kuajak duduk di sini.”

Tampak olehku kemudian Lisa membawa satu butir jeruk dan satu gelas air mineral. Aku masih memasang pendengaranku, berharap suara itu akan bergaung lagi sehingga aku bisa memastikan bahwa suara di balik gorden itu sungguh-sungguh suara yang kukenal.

Lisa menusukkan sedotan pada plastik penutup air mineral itu, lalu menyerahkannya padaku, dan menyuruhku minum.

“Makan jeruk, ya,” kata Lisa. “Aku kupaskan.”

“Tak usah repot, Lis,” cegahku. “Aku tak lama, aku harus kembali ke tempat kerja lagi.”

“Duduklah dulu. Jelas sekali kau sakit.”

“Aku baik-baik saja. Tak sakit apa-apa.”

“Mas,” panggil Lisa. “Mengapa berdiri di sana?”

Aku tak percaya dengan apa yang kulihat, hingga aku lupa bernafas.

“Kemari dan kenalkan, ini Lea, sahabatku,” sambung Lisa. “Lea, ini suamiku.”

Sejuta anak panah terlepas dari busurnya dan menusuk tajam di dadaku. Anak-anak panah itu menembus hingga ke tulang sumsum, hati, empedu, paru-paru, jantung, hingga otakku. Detik seperti tidak bergerak dan waktu seolah berhenti. Waktu seperti tidak melangkah maju dan hujan membasahi padang pasir yang kering.

Apakah ini kenyataan? Apakah ini suatu keseriusan? desis hatiku. Tolong katakan bahwa semua ini adalah mimpi! Tubuhku mengigil, tak ada lagi panas yang membakar wajahku. Kusilangkan kedua telapak tanganku untuk mencengkeram kedua lengan tanganku yang gemetar. Biru dan kaku. Kucengkeram lengan tanganku lebih keras lagi dan semakin keras, hingga kuku jari-jariku menancap dan membekas pada lenganku. Namun aku tidak merasakan apa-apa karena tubuhku terlanjur membeku.

“Lea, kau kenapa?” Lisa panik. “Lea! Lea! Mas, panggil dokter cepat!”

Aku tak dapat mengingat apapun lagi, hanya kepanikan dan teriakan Lisa yang mengiringi alam bawah sadarku.

***

“Maaf,” aku mendengar suatu suara bersamaan dengan dua kali ketukan pada pintu. “Pasien kamar 168 memanggil Ibu.”

“Ibu kenapa?” terdengar perpaduan dua suara yang yakin kukenali.

“Beliau ingin buang air kecil, tapi hanya ingin ditemani oleh Ibu.”

“Mas, temani Lea dulu ya. Tadi aku sudah menghubungi CS Law. Jadi kalau Lea sadar dan bersikeras ingin pulang, tolong beritahu dia untuk tenang dan beristirahat dulu saja. Mas kabari aku ya, begitu ia sadar.”

Sebenarnya aku sudah sadar, hanya saja aku tetap mengatupkan kelopak mataku. Aku tak berani melihat wajah Lisa yang begitu lembut. Setelah memastikan Lisa sudah berlalu dari dekatku, perlahan kubuka mata.

“Bas,” panggilku. Kubiarkan dua tetes air mengalir di pipi. Aku tak kuat untuk membendungnya lagi. “Aku minta maaf.”

“Untuk apa?”

“Untuk semuanya. Aku khilaf dan bodoh.”

“Jangan berkata begitu, aku akan segera menikahimu. Lisa pasti mengerti.”

“Aku tahu, Lisa pasti mengerti,” sahutku sesak. “Lisa tahu?”

Bastian mengangguk.

“Tahu semuanya?”

Bastian menggeleng. “Hanya tahu bahwa kau sedang hamil. Tadi dokter yang memeriksamu mengatakan begitu.”

“Apa kau merasa kalau Lisa sangat baik?”

Bastian mengangguk. “Bagaimana kaubisa mengenal Lisa?”

Sejenak aku membisu. Terlintas dalam benakku kemudian perkenalanku dengan Lisa di masa kecil dulu. Sekitar dua puluh tahunan silam, aku sedang bermain bersama anak tetangga belakang rumahku hingga ke kompleks perumahan elite di sebelah kompleks perumahanku yang sederhana. Aku tak tahu bagaimana aku bisa jatuh dan masuk ke parit kering. Parit itu tidak dalam, namun jika dibandingkan dengan tubuh kanak-kanakku, jelas parit itu nyaris menutupi tubuhku. Aku menangis dan berdarah, sementara anak tetanggaku malah lari meninggalkanku. Di sela suara tangisku, dapat kudengar suatu teriakan memanggil kata “Ibu”. Tak lama dari itu, seorang wanita yang kurang-lebih sepantar dengan Ibuku, mengangkat tubuhku dari parit itu dan menggendongku masuk ke dalam rumah mewah dengan pekarangan yang luas.

Anak itu dan Ibunya membersihkan dan mengobati luka-lukaku. Aku terus menangis, menahan perih. Sempat beberapa kali, Ibunya bertanya mengenai siapa namaku. Namun pertanyaan kujawab dengan rengekan mau pulang. Aku bersikeras mengatakan bahwa aku tahu jalan pulang ke rumahku. Tampak kegusaran tergambar di wajah Ibunya, akibat sikapku yang begitu keras. Namun kegusaran tak membuat Ibunya kehilangan hati. Ibunya menyuruh seorang sopir mengantarku pulang dan bahkan mengabulkan permintaan anak itu untuk turut mengantarku pulang.

Di dalam mobil, anak itu mengulurkan tangan padaku dan mengajak berkenalan. Namun aku tidak menanggapi, malah kutepis tangannya. Kemudian ia berkata padaku bahwa ketajaman dan kekerasan bebatuan di parit kering itu sudah menyebabkanku terluka dan berdarah. Sama pula halnya dengan sikap tak ramah dan kekerasan hati yang dapat melukakan perasaan orang lain. Menanggapi kata-katanya, aku berteriak padanya bahwa namaku Batu. Ia tampak tidak percaya dengan namaku, tetapi ia membiarkan mulutnya memanggilku batu dan memperkenalkan dirinya sebagai Parit. Sejak itulah, kami berteman. Tanpa tahu dan tanpa bertanya tentang siapa nama kami yang sebenarnya. Aku hanya tahu, di rumah mewah itulah ia tinggal dan aku memanggilnya Parit. Ia suka berkunjung ke rumahku, sopirnya yang mengantarkannya. Ia mengajariku ballet dan melafalkan sedikit kata-kata dalam bahasa Inggris. Seringkali ia memberiku makanan kecil, coklat, permen, gula-gula, buku cerita hingga membagi Barbie-nya padaku.

“Ia sahabat kecilku yang baru saja kutemukan,” jawabku sambil mendudukkan badan di atas tempat pembaringan di rumah sakit.

“Jadi semalam kau di café bersamanya?”

Aku mengangguk. “Ia pulang terlebih dahulu untuk menyusul Ibu Mertuanya yang masuk rumah sakit. Aku tak tahu bagaimana kepanikan menderanya kemarin.”

Ada segunung sesal yang bisa kubaca dari sorot mata Bastian.

“Lebih ironisnya lagi, pada saat itu, kita sedang asyik bercanda, tertawa, dan bersenang-senang di apartemen mewah itu. Di mana bakti dan tanggung jawabmu? Kemudian aku… Perempuan macam apa aku ini?”

“Jangan begitu, Na. Aku yang salah. Aku tidak mengaktifkan hand phone dan…”

“Aku tahu. Aku kan sudah membuat peraturan, bahwa ketika kita akan dan sedang berdua, hanya nomor rahasia kita berdua yang aktif pada hand phone kita masing-masing. Mana ada orang lain selain aku, yang bisa menghubungimu,” aku tersenyum dalam tangisku. “Peraturan bodoh dan aku sungguh jahat!”

Bastian tak menanggapiku.

“Ibumu sakit apa?”

“Sesak nafasnya kambuh lagi.”

“Aku sudah bertemu dengan istrimu dan melihat wanita seperti apa yang dipilihkan oleh Ibumu untukmu. Aku mengaku kalah, Bas. Ia terlalu hebat untuk kusaingi.”

Bastian diam, tak meresponku.

“Tuhan bukan saja memberimu wanita yang sempurna, tetapi juga Ia telah mengirimkan padamu peri berhati emas. Setelah semua yang terjadi, selama waktu ini berlalu, apa kau tidak bisa merasakan ketulusan hatinya dan mengasihinya? Aku yakin, kau sering mengecewakannya dan aku adalah pendosa yang turut menambah kecewa dan derita untuknya.”

Bastian masih diam.

“Kau benar, hanya karena keadaan, seonggok cinta harus kehilangan bentuknya. Kini aku sadar, keadaan yang menguasai cinta kita bukanlah kasih, melainkan nafsu. Walaupun pemisah cinta dan hasrat memiliki itu semu, sekarang aku bisa menemukan perbedaan keduanya.”

Bastian masih diam.

“Mengapa kau diam terus, Bas?” tanyaku sambil mendekatkan tas kerja ke badanku dan meronggoh isinya. “Aku harus melupakanmu dan kita harus mengakhiri semua ini,” sambungku sambil menyerahkan magnetic card yang tak lain adalah kunci apartemen mewah yang baru dibelikan Bastian untukku itu.

“Na, jangan begitu. Aku…”

“Aku juga punya apartemen dan aku belum menandatangani dokumen apapun untuk apartemen darimu itu. Kita harus putus!”

“Tolong kau jangan keras kepala, apalagi keras hati. Aku menganggap penting kau, keadaanmu, dan janin itu. Kalian berdua membutuhkanku.”

“Tidak. Aku akan menggugurkannya.”

“Na, jangan gegabah. Keputusanmu tak bisa semata-mata hanya dari hasil pemikiran spontan, emosi sesaat, dan…”

“Itu urusanku, Bas. Kau juga tahu aku pernah melakukan aborsi dulu dan aku masih baik-baik saja kan?”

Bastian hanya diam, menundukkan kepalanya.

“Ini tubuhku. Janin ini ada di dalam rahimku. Aku yang mengalami dan aku yang memiliki semuanya. Aku yang berhak mengambil keputusan dan…”

Kulihat dua butir air menetes di pipi Bastian. Baru kali ini kulihat ia menangis. Apa yang telah aku lakukan? Kubiarkan perkataanku tidak selesai terucap. Aku menyusut air mataku dan turun dari ranjang.

“Semua ini memberatkanku, karenanya aku menyuruhmu pergi dan sekalipun di masa depan kau menemukanmu, kau terikat pada janji untuk tidak menghidupkan kenangan kita lagi,” kataku sambil membuang magnetic card itu di muka kaki Bastian. “Aku boleh kan menyuruhmu demikian?”

Bastian diam, sorot matanya makin sayu.

“Jawab aku, Bas!”

“Ya,” jawabnya lemah.

“Kuberitahu padamu, pekerjaan hukum memberiku bahagia, tak pernah membuatku berduka ataupun menuai kecewa. Aku lebih mencintai karier dalam bidang itu daripada apapun juga,“ kataku angkuh. “Kupastikan aku bisa hidup tanpamu, tapi tidak tanpa ilmu hukum yang kupuja itu. Demikian juga denganmu, kaubisa hidup tanpaku, tapi tidak tanpa Lisa. Ibumu begitu menyayangi Lisa dan jauh di lubuk hatimu, sesungguhnya ia adalah kekasih hatimu. Simpanlah rahasia kita dalam hati kita saja dan percayalah, kau sudah menemukan cinta yang selayaknya adalah kasih.”

Kuhempaskan tubuhku ke depan, menyusuri koridor-koridor rumah sakit. Kutahan tangisku, tak boleh air ini jatuh lebih banyak lagi.

***

Hari ini adalah deadline proyek Bastian di CS Law dan pada hari ini juga, aku memutuskan untuk pulang ke Solo, ke rumah kakek-nenekku. Aku sudah memberitahu Tante di Inggris, bahwa aku sedang hamil tanpa suami, aku sudah resign dari CS Law, dan aku ingin menenangkan hati di Solo. Walaupun ia terkejut dengan penuturanku, ia tetap mengerti dengan keadaanku dan sepenuhnya tetap mendukungku. Ia menganggapku sudah dewasa, bisa membedakan hal yang baik dan hal yang buruk. Dalam keseharianku dalam perjalanan hidupku bersamanya, memang ia tidak otoriter mengaturku. Ia tidak pernah usil dengan kehidupan pribadiku. Apalagi terhadap persoalan seputar cinta, ia orang yang cuek banget. Aku tak tahu, apakah karena Tanteku ini pernah mengalami cinta yang pahit dalam kehidupannya dulu, maka ia jadi bersikap demikian padaku ataukah memang ini caranya menunjukkan kasihnya yang tulus padaku. Sepenuhnya aku tak tahu dan mungkin memang tak perlu tahu.

Sebelum aku pulang ke Solo, aku ingin bertemu dengan Lisa dan meminta maaf padanya, akan tetapi aku tak ingin bertemu lagi dengan Bastian. Untuk memastikan apakah Ibu Bastian masih dirawat di rumah sakit ini ataukah tidak, aku sudah menelepon bagian informasi rumah sakit. Jika Ibu Bastian masih dirawat di rumah sakit, maka dapat dipastikan bahwa Lisa ada di sana dan menjaganya. Aku dapat melaksanakan niatku untuk bertemu dengan Lisa, tanpa perlu khawatir akan bertemu dengan Bastian. Aku jelas tahu, ketika aku menemui Lisa, Bastian pasti tidak sedang bersama Lisa, karena Bastian tentu sedang menandatangani proyeknya itu bersama CS Law dan orang-orang penting lainnya di lembaga pemerintahan yang mengurusi capital market.

“Lisa,” panggilku sambil menghambur memeluknya. “Aku… Aku minta maaf.”

“Kau ke mana saja?” sahut Lisa di sisi telingaku, tak menanggapi pernyataanku. Kedua lengannya erat memeluk tubuhku. “Mengapa hand phone-mu tidak aktif? Berulang kali aku menelepon CS Law, kata mereka kau resign mendadak. Aku dan suamiku mencarimu. Semampu yang dapat kulakukan, aku melacakmu, tapi kau di mana? Tak tahukah kau bahwa aku begitu cemas memikirkanmu?”

Oh, Lisa… Apa yang kaulakukan? Sekarang aku tahu Bastian hanya menyimpan “rahasia itu” dalam hatinya saja. Tetapi jika kautahu bahwa aku ini begitu jahat dan bahkan sudah mengambil kehidupanmu, apakah kau masih sebaik ini padaku?

“Lisa, aku mau pamit padamu.”

“Pamit ke mana? Lea, kau jangan macam-macam. Sepahit apapun hidupmu, bertahanlah. Kau pasti bisa.”

Aku menggeleng. “Aku ingin menghilang.”

“Lea, tinggallah di bersamaku. Besok juga, Ibu Mertuaku bisa pulang dari rumah sakit dan kau…”

“Tidak, Lis. Aku perlu menenangkan diri dan membiarkan laki-laki itu berlalu dariku.”

“Jangan begitu, Lea. Aku akan membantumu menemukan laki-laki itu. Siapapun laki-laki itu, ia harus bertanggung jawab dan segera menikahimu. Kau jangan berpikiran sempit. Kembangkan keberanianmu dan aku ada bersamamu. Percayalah pada persahabatan kita yang mampu menjadi harapan yang hadir dalam setiap kesedihan.”

Persahabatan? Persahabatan apa yang telah kujalankan? Sahabat istimewa seperti apa yang telah Tuhan berikan untukku? Persahabatan yang sejati memang tidak luput dari cela, namun aku yakin bahwa persahabatan yang sejati pasti luput dari tikam dan pengkhianatan.

“Aku percaya padamu, Lis. Segala sesuatu yang baik selalu kautawarkan dan kauberikan padaku,” sahutku. “Hanya saja aku sungguh tidak menginginkan janin ini.”

“Jangan bilang kau akan mengaborsinya,” Lisa menguncang-guncang tubuhku. “Sadar, Lea, dan jangan menakutiku! Hatimu akan lebih sakit dan hidupmu adalah taruhannya.”

“Tapi aku tak menyukainya. Aku…”

“Berikan anakmu padaku dan kau tinggallah bersamaku.”

“Berhentilah membujukku, Lis,” aku menghela nafas. “Dan berhentilah berbaik hati padaku. Aku tak pantas mendapatkan kebaikan hatimu.”

“Aku serius. Aku menyukai anak-anak dan aku menyayangimu. Sungguh.”

“Tidak Lis. Aku harus pergi dan mencari kehidupan yang baru,” kataku kukuh. “Keputusanku sudah bulat.”

Sejenak hening menyelimuti kami.

“Kauingat pertemuan kita pertama kali di café?” tanya Lisa memecah keheningan.

Aku mengangguk.

“Satu hari sebelum pertemuan kita itu, aku keguguran,” Lisa membuang nafasnya. “Tepat pada hari aku keguguran itu, untuk pertama kalinya, suamiku tidak pulang ke rumah.”

Aku berdiri mematung, bibirku beku, namun ada kehangatan pada kedua mataku. Ingatanku masih baik dan aku masih dapat memutar kenangan itu di kepalaku. Tepat pada hari, waktu Lisa keguguran, Bastian menemukanku tanpa sengaja di CS Law. Kemudian “atas perintah” Ibu Aneta, aku menyusul Bastian ke kantornya. Sepulang kerja dari CS Law, ia menjemputku. Aku menawarinya untuk singgah, hingga bermalam di apartemenku untuk mengulang fragmen-fragmen kenangan indah kami di masa lalu, seperti ketika kami belum memutuskan hubungan kami.

“Dalam kepahitanku itu, aku berusaha mencarinya, namun pencarianku sia-sia. Kata sekretarisnya, ia tidak ada di kantornya. Kata tangan kanannya di kantor, ia ke Singapura. Aku menelepon hand phone-nya dan mengiriminya SMS, namun tidak mendapatkan respon apapun. Akhirnya aku pasrah dan dalam kepasrahan itu, kuasa Tuhan sangat nyata untukku.”

Aku larut dalam penuturan Lisa dan makin didera dosa. Saat itu memang berlalu sangat cepat. Aku masih ingat dengan mawar putih itu dan dengan pesan Bastian untukku sebelum ia berangkat meeting ke Singapura. Ketika seorang laki-laki menemukan kembali wanita yang pernah dan masih dicintainya, apakah “semudah itu” ia akan melupakan istrinya di rumah? Ataukah aku, sebagai seorang wanita yang pernah dan mungkin masih mencintai laki-laki dari masa laluku, apakah “serendah itu” aku melepaskan pertahanan diriku, tanpa mau menyadari waktu, bahkan sengaja melepaskan belenggu nafsu untuk menguasai hatiku?

“Tuhan memberiku kekuatan untuk bertahan dan tetap meyakini apa yang dituliskan semesta untukku. Sekalipun Mas Tian adalah suamiku, aku tak ingin mengusiknya. Ia tetap mempunyai kebebasan untuk memilih jalan hidupnya dan apapun yang disukainya. Aku tetap berharap ia akan kembali padaku, tetapi dengan kerelaan hatinya, bukan dengan keterpaksaan. Jadi dalam sakitku dan di tengah kecewaku, aku tak boleh tergantung padanya. Dalam hidupku, aku hanya bisa mengandalkan Tuhan dalam sakitku dan membagi kecewaku dengan makanan favoritku, yaitu ice cream.”

Tak ada kata-kata apapun yang dapat terucap dari bibirku. Aku masih berdiri mematung, pikiranku semakin kacau, dan mataku terasa semakin berat membendung air.

Lisa melepaskan gelang emas yang melingkar pada kakinya, lalu sambungnya, “Kebanyakan orang mengenalku sebagai Ananta Sammi. Sebagian kecil dari mereka memanggilku Lisa, panggilan singkat dari Linda dan Sammi, nama kedua orang tuaku,” kata Lisa sambil memasangkan gelang itu pada sebelah kakiku. Gelang kaki itu diuntai oleh huruf-huruf yang membentuk kata “paquita”. “Aku tak punya nama samaran, kaubisa menemukan tulisan-tulisanku dengan nama ini.”

Aku tahu, jawabku dalam hati. Banyak sekali artikel di kolom surat kabar tentang motivasi ataupun tata bahasa yang ditulis oleh seseorang yang bernama Paquita. Sering pula aku melihat novel di toko buku yang menampangkan panggilan Paquita sebagai penulisnya pada sampulnya. Tak jarang juga aku melihat cerita pendek yang dimuat di tabloid ataupun majalah, yang menyebut Paquita sebagai pengarangnya. Bahkan setelah aku menemukan nama lengkap Lisa pada spouse approval proyek Bastian dua hari yang lalu pun, aku masih belum yakin, apalagi percaya bahwa Lisa atau Ananta Paquita Sammi adalah Parit, sahabat kecilku.

“Sejak kecil aku menyukai sebutan Paquita, tetapi tak satupun orang memanggilku demikian,” sambung Lisa. “Pernah kukenalkan nama itu padamu, tapi di luar dugaanku, kau malah memanggilku Parit.”

“Ini gelangmu, Lis,” kataku menahan tangis. “Aku…”

“Ibuku pernah bilang, gelang kaki dapat mengikat kehidupan pemberi dan penerimanya. Pakailah, aku tidak membiarkanmu sendirian melalui masa sulitmu ini. Pergilah ke mana hatimu membawamu, tetapi ingatlah bahwa aku selalu mendoakanmu, Lea.”

“Terima kasih dan tolong maafkan aku,” aku memeluk Lisa. “Makna gelang ini akan selalu hidup dalam hatiku dan benda ini mengantarku menemuimu kembali.”

Masih dapat kurasakan eratnya tangan Lisa di tubuhku, namun aku harus kuat. Aku harus melepaskannya. Meninggalkan semuanya.

***

Aku duduk di hadapan stir mobil, sambil menyalakan loud speaker hand phone. Dari kejauhan aku dapat melihat Lisa berdiri dengan perut membuncit di muka gerbang pintu rumahnya dan menerima sepucuk surat dari remaja putra berusia belasan tahun itu.

Satu tahun yang lalu, aku memutuskan untuk mengaborsi janin keduaku dan Lisa berusaha mencegahku. Apakah saat ini Lisa masih menginginkan anak itu? Waktu terlalu cepat berlalu. Aku belum bersiap apapun, tetapi menit sudah beralih, hari sudah berganti, dan tahun sudah berlalu. Basah kurasakan kedua pelupuk mataku. Kuulang dalam hati, kata-kata yang kutulis di surat yang kutitipkan pada remaja itu.

Lisa, kau pernah menasehatiku untuk tidak berpikiran sempit. Aku perlu mengembangkan keberanianku, karena kau ada bersamaku. Kau mendoakanku. Kau mengatakan padaku juga bahwa dengan mematikan anak ini, berarti aku makin menyakiti hatiku sendiri. Kemudian kau meyakinkanku bahwa kau menyukai anak-anak dan kau menyayangiku. Apa kau masih menginginkan anak ini?

Tampak olehku wajah Lisa memerah, menahan tangis.

“Berikan keranjang itu padaku, Dik,” suara Lisa.

Remaja itu memberikan keranjang itu pada Lisa. Segera Lisa menerima keranjang itu dan membuka penutupnya. Kemudian Lisa mengangkat bayiku dan membawa bayi itu dalam pelukannya. Dapat kurasakan betapa hangat kasih Lisa pada anakku. Sambil mencium bayiku, kulihat air mata membasuh wajahnya.

“Mas,” panggil Lisa. “Minah, cepat panggil Bapak kemari,” kata Lisa kepada seorang perempuan belasan tahun yang berdiri di sampingnya. Pasti Minah adalah satu satu pembantu rumah tangga yang dipekerjakan di rumahnya.

Tak lama kulihat Bastian berdiri tertegun di samping Lisa.

“Bayi siapa itu, Lis?”

“Aku ingin mengangkat bayi ini sebagai anak kita. Apakah boleh, Mas?”

Kebingungan masih mewarnai raut wajah Bastian. “Tapi itu bayi siapa, Lis?”

“Ini bayi sahabatku. Namanya pasti Paquita,” suara Lisa. Aku dapat mendengar isak dalam suaranya. “Semalam aku bermimpi, menemukan gelang kakiku kembali dalam sebuah keranjang yang berisi sekuntum mawar putih dan satu bayi perempuan dengan nama Paquita.”

Bastian mengangkat leher keranjang itu dan mengambil sebuah amplop dari sana. Ia membuka perekat amplop itu dan mengeluarkan isinya. Amplop itu berisikan kutipan akta kelahiran bayiku, yang secara hukum berstatus sebagai anak di luar kawin, selembar surat pernyataan bermeterai dariku bahwa aku melepaskan hak hukumku atas anak itu, dan gelang kaki Lisa yang diuntai oleh huruf-huruf yang membentuk kata “paquita”.

Tangan Bastian mengangkat sekuntum mawar putih yang kuletakkan di dalam keranjang bayiku. Sambil menunjukkan gelang kaki Lisa, Bastian berkata, “Namanya memang Paquita dan ini gelang kakimu.”

“Kaukenal Lea?” tanya Lisa pada remaja itu.

Remaja itu menggeleng.

“Kau ingin mencarinya, Lis?” tanya Bastian kemudian.

“Tidak,” sahut Lisa. “Lea pernah bilang padaku bahwa gelang kaki itu akan mengantarnya menemuiku kembali, akan tetapi makna gelang kaki itu akan selalu hidup dalam hatinya. Jika hari ini Lea menyuruh orang lain untuk mengantarkan semua ini padaku, berarti Lea tak ingin aku mencarinya. Tapi aku percaya, Mas. Ia akan selalu mengingatku dan persahabatan kami.”

Nampak olehku Bastian tertegun mendengar penyataan Lisa. Dua butir air jatuh dari pelupuk mataku lagi. Oh, Lisa… bagaimana bisa kau memahamiku hingga seperti itu. Betapa peka perasaanmu dan betapa sangat dirimu penuh dengan pengertian.

“Bagaimana kau bisa mengantarkan semua ini pada kami, Dik?” tanya Bastian.

“Saya pedagang asongan di suatu perempatan jalan. Tadi seorang wanita seumuran Ibu,” kata remaja itu sambil mengarahkan telapak tangannya pada Lisa. “Membeli rokok dagangan saya. Wanita itu menawarkan saya uang, asal saya mau membantunya. Tanpa berpikir panjang, saya menyetujui tawarannya, kemudian segera ia mengajak saya ke dalam mobilnya. Ia berpesan pada saya untuk menemui Ibu yang bernama Lisa. Setelah menurunkan saya tepat di depan pintu rumah ini, ia pergi membawa mobilnya dan meninggalkan saya.”

“Ia pasti Lea,” kata Lisa. “Aku yakin, Mas.”

“Dik, besok kaudatang lagi kemari. Apa kaubisa?” tanya Bastian kemudian kepada remaja itu tanpa menghiraukan pernyataan Lisa. “Kami ingin mengadopsi bayi ini dan memerlukanmu sebagai saksinya.”

“Tapi…” ada getar sungkan dalam nada bicara remaja itu.

“Jangan kautolak permintaan kami. Tolonglah. Kami janji tidak akan mempersulitmu,” suara Lisa.

Kulihat dengan ragu-ragu, remaja itu menganggukkan kepala.

“Ini untukmu,” kata Bastian sambil memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu pada remaja itu.

Remaja itu berusaha menolaknya, tapi Bastian dan Lisa terus memaksanya.

Aku memutuskan sambungan telepon dari hand phone-ku dan segera menyusut wajahku. Cukup, drama mellow ini selesai! Mungkin pendapatku benar, bahwa semua hal yang terjadi dalam kehidupan seorang manusia, memang hanya manusia itu sendiri yang dapat mengukir dan menulisnya. Aku yakin bahwa segala sesuatu yang dihadapkan pada setiap manusia, hanyalah suatu kesempatan, yang selalu menawarkan dua pilihan, ambil atau tidak. Namun, pilihan itu tidak akan datang jika semesta ini tidak menuliskan kesempatan itu. Hhh… aku menghela nafas. Mungkin keyakinan Lisa ada benarnya juga. Kehadiran Bastian adalah suratan, bertemu dengan Lisa adalah nasib, dan Paquita adalah salah satu takdir hidupku. Bastian dan Lisa adalah suatu “kesempatan” yang didatangkan semesta ini untukku dan Paquita, anakku, adalah suatu “pilihan” yang kuambil dari kesempatan yang ditawarkan itu.

Sekarang aku harus kembali ke dalam kehidupanku dan memulai hidup yang baru, tanpa Bastian, Lisa, ataupun Paquita, anakku dan Bastian. Selama ingatanku masih baik, aku akan tetap mengingat suratan, nasib, dan takdir itu, demikianlah janjiku. Seiring berjalannya waktu, semuanya akan berlalu dari hatiku. Aku tak apa dan pasti tetap baik-baik saja, ucapku dalam hati. Kunyalakan pemantik api dan membakar ujung rokokku. Ini adalah pertama kalinya aku merokok sejak aku menyadari bahwa Paquita hidup dalam rahimku.

Paquita, bayiku tetap tenang dan tidak menangis, seolah ia mengerti bahwa ia sangat dikasihi oleh Lisa dan Ayah kandungnya. Setelah berjanji akan kembali lagi besok ke rumah itu untuk membantu proses adopsi Paquita, remaja itu pergi dan berlalu dari Bastian dan Lisa.

Pintu gerbang itu ditutup dan pemandangan di hadapanku hanyalah langit yang biru, rumah-rumah mewah, jalanan yang menghampar, pepohonan, beberapa mobil yang diparkir di tepi jalan, batu, dan parit yang kering.

Kutelepon kembali remaja itu dan mengucapkan terima kasih padanya.

“Bu, mereka memberi saya uang,” kata remaja itu. “Ibu di mana? Ini hand phone-nya, bagaimana saya mengembalikannya pada Ibu?”

Hand phone itu untukmu saja.”

“Untuk saya?” ada nada tidak percaya dalam getar suara remaja itu.

“Ya,” jawabku tegas. “Sekali lagi pintaku padamu, tolong kaubantu mereka. Mereka adalah orang-orang yang sangat baik. Tolong sampaikan kepada mereka juga, jika mereka memerlukan data-data tentang bayi itu, mereka bisa menghubungi rumah sakit di Solo. Aku sudah menuliskan alamat dan nomor telepon rumah sakit itu pada hand phone yang ada padamu. Terima kasih, kau menjaga rahasiaku. Aku sudah mendengar semua percakapan kalian.”

Aku menutup telepon, me-non-aktifkan hand phone-ku, kemudian membuka casing belakang hand phone itu. Segera kulepaskan simcard nomor rahasiaku bersama Bastian dulu dari hand phone-ku dan membuang simcard itu ke jalan raya.

***

“Lea, kau di mana?”

“Lagi jalan pulang ke apartemen kok, Tan. Aku baru mengantarkan Paquita pada sahabatku.”

“Kau aneh-aneh saja, Lea. Paquita itu anakmu. Sekalipun kau tidak tahu siapa Ayahnya, tetap saja kau Ibunya. Ya, sudah itu urusanmu,” celoteh Tante. “Ada kabar baik untukmu. Baru saja dosenku di Inggris menelepon. Katanya, proposal keduamu diterima oleh sebuah firma hukum ternama di sana. Aku lupa nama firmanya. Jadi selama kau S2, kau juga bisa bekerja paruh waktu di firma itu. Kau sangat beruntung, Lea. Sudah dapat beasiswa penuh, dapat pekerjaan pula. Selamat ya.”

“Terima kasih, Tante.”

“Ya, sudah. Ini barang-barangmu sudah kusiapkan. Cepatlah pulang! Bukankah tiga jam lagi kau harus sudah di bandara?”

“Ya, Tante.”

Aku menutup telepon.

Marina Azalea… suatu suara mendesis di hatiku. Apa yang kaupikirkan? Kesempatan, pilihan, suratan, nasib, atau takdir? Apa yang kausesalkan? Laki-laki, nafsu, penantian, kesempurnaan, luka, harapan, atau kenangan? Apa yang kaucari? Kehidupan, karier, cinta, semangat, kelimpahan, penghargaan, atau ketegaran? Lantas apa yang kaudapatkan? Kasih, ketulusan, persahabatan, bahagia, kehilangan, kecewa, atau kehampaan?

S E L E S A I

Tidak ada komentar: